+62.31.598.1809 info@hcg.co.id

Perlahan tapi pasti porsi kewajiban perusahaan atas imbalan kerja menjadi semakin signifikan. Standar PSAK 24 (Pedoman Standar Akutansi Keuangan no.24) tentang akuntasi Imbalan Kerja mengatur cadangan yang dibentuk agar mencukupi untuk membayarkan manfaat pensiun. Strategi pengelolaan program imbalan kerja penting guna menjaga resiko keuangan perusahaan agar dapat terkendali dan memberikan hasil yang optimal.

Salah satu komponen neraca keuangan perusahaan memuat kewajiban atas imbalan kerja. Jenis imbalan kerja yang diperhitungkan sebagai kewajiban tersebut setidaknya sebesar manfaat pensiun yang diatur dalam Undang-Undang ketenagakerjaan 13 tahun 2013.

Banyak orang tidak menyadari besarnya kewajiban tersebut karena seringkali besarnya tidak seberapa dibandingkan total kewajiban yang ditanggung oleh perusahaan. Namun seiring dengan berkembangnya perusahaan menjadi lebih besar dan karyawan semakin banyak, pelan tapi pasti porsi kewajiban perusahaan atas imbalan kerja ini menjadi semakin signifikan dan bahkan menghantui pemilik perusahaan/pemilik modal karena sewaktu-waktu dapat jatuh tempo dan dibayarkan secara sekaligus jika terjadi PHK.

Mayoritas karyawan tidak menyadari bahkan tidak peduli apakah perusahaan sudah mengelola manfaat imbalan kerja secara baik. Untungnya standar PSAK 24 (Pedoman Standar Akutansi Keuangan No. 2 4) yang mengatur tata cara pencatatan akuntasi Imbalan Kerja mewajibkan setiap perusahaan menyajikan nilai kewajibannya secara periodik dan memaksa membebankan biaya imbalan kerja tersebut secara sistematis agar cadangan yang dibentuk mencukupi untuk membayarkan manfaat.

Tentunya tiap perusahaan memiliki profil karyawan yang berbeda serta manfaat pensiun yang juga berbeda-beda, sehingga sulit untuk mengatakan bahwa perusahaan A lebih baik dibandingkan dengan perusahaan B.  Prinsipnya adalah semakin kecil nilainya semakin baik, karena sesuai prinsip hutang, semakin kecil rasio kewajibannya semakin rendah resiko untuk terjadi gagal bayar.

Ada dua aspek yang perlu menjadi fokus dalam pengelolaan kewajiban atas imbalan kerja tersebut:

  1. Menentukan besar kewajiban dengan akurat berdasarkan asumsi “best-estimate”
    Pemilihan asumsi yang bersifat jangka panjang diperlukan kajian dan pemahaman yang memadai atas kondisi historis maupun business plan perusahaan,  perlu kerjasama pihak HRD dan Finance dalam memberikan rekomendasi kepada management
  2. Mendanai kewajiban tersebut dengan investasi berdasarkan prinsip asset–liability matching
    Saat ini mayoritas kewajiban yang sudah didanai hanya di investasikan dalam instrument likuid jangka pendek, padahal kewajiban tersebut hanya akan dibayarkan saat karyawan mencapai usia pensiun. Tim investasi perlu diberikan informasi mengenai jadwal jatuh tempo pembayaran agar dapat menempatkan investasi yang sesuai dengan profil jatuh tempo agar memperoleh hasil investasi yang optimal.

Dalam prakteknya walaupun standar perhitungan kewajiban tersebut sudah ada, aplikasinya yang masih beragam. Hal ini terjadi karena kondisi setiap perusahaan berbeda, mulai dari perbedaan pemahaman konsep aktuaria sampai kepada cadangan pensiun yang tidak merata.  Disinilah kebutuhan keahlian akturia diperlukan. Aktuaria disini merupakan disiplin ilmu yang menggabungkan teori statistik dan ekonomi, yang disertai sertifikasi profesi Aktuaris.  Saat ini di Indonesia jumlahnya masih kurang dari 200 orang dan sebagian besar bekerja dalam industri Asuransi.

Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana keadaan perusahaan Anda dan mengoptimalkan pengelolaan program imbalan kerja bagi para pemangku kepentingan, silahkan menghubungi

Ditulis untuk HCG