+62.31.598.1809 info@hcg.co.id

By: JD Darmawan Ardi Priyonggo

Note: UU=Undang-Undang.

Ah, outsourcing, formula magis yang konon mampu menjawab semua tantangan bisnis modern. Mau tenaga kerja murah? Bisa. Mau fleksibilitas tanpa beban tanggung jawab? Sangat mungkin. Tapi, di balik semua keajaiban itu, mari kita bicara tentang realitas: beberapa perusahaan outsourcing yang tidak comply dengan undang-undang dan pemberi kerja yang memandang manusia sekadar komoditas. Bukankah ini model bisnis yang sangat “inspiratif”?

“Comply” Itu Pilihan, Bukan Kewajiban?

Bagi sebagian perusahaan outsourcing, aturan tenaga kerja sering kali hanya sekadar hiasan di presentasi tahunan. Siapa peduli tentang jaminan sosial, upah layak, atau kontrak kerja yang manusiawi? Bukankah jauh lebih efisien untuk melihat karyawan sebagai angka di lembar Excel ketimbang manusia dengan kebutuhan dan keluarga?

Dan mari kita bicara tentang undang-undang. Ada begitu banyak regulasi yang bertujuan melindungi pekerja, tapi beberapa perusahaan outsourcing sepertinya punya definisi baru tentang kepatuhan. “Kami patuh… kalau ada audit,” mungkin begitu motto mereka. Lagi pula, siapa yang akan tahu jika gaji sedikit dipotong atau jam kerja diperpanjang tanpa kompensasi? Asal tidak viral di media sosial, semuanya baik-baik saja, bukan?

Transaksi Tanpa Empati

Lalu ada pemberi kerja yang ingin semua serba instan. “Saya bayar, jadi saya tidak peduli.” Sikap ini sangat efisien, bukan? Mengapa repot-repot memikirkan dampak jangka panjang pada karyawan outsourcing ketika fokusnya hanya pada produktivitas saat ini? Lagi pula, kalau ada yang tidak puas, tinggal ganti. Tenaga kerja murah itu melimpah, bukan?

Ketika karyawan outsourcing mengeluh tentang kondisi kerja yang tidak layak, sering kali mereka hanya mendapat respons dingin: “Kalau tidak suka, pintu keluar ada di sana.” Betapa transaksionalnya hubungan ini! Seolah-olah tenaga kerja adalah barang yang bisa dibeli, dipakai, dan dibuang begitu saja.

Ketika Kesejahteraan Jadi Lelucon

Kesejahteraan? Ah, istilah itu tampaknya hanya cocok untuk kampanye CSR, bukan praktik sehari-hari. Beberapa perusahaan outsourcing bahkan merasa memberikan gaji minimum sudah cukup. Jaminan kesehatan? Asuransi? Itu semua dianggap “opsional.” Kalau pekerja sakit, ya urus sendiri. Bukankah kita sedang hidup di zaman individualisme?

Dan bagaimana dengan pelatihan atau pengembangan keterampilan? Jangan bercanda. Investasi pada manusia dianggap sebagai pemborosan. Mengapa melatih orang kalau mereka bisa digantikan dengan yang baru? Dalam logika ini, manusia tidak lebih dari komponen yang mudah diganti.

Siapa yang Salah?

Pada akhirnya, semua pihak terlibat dalam siklus ini: perusahaan outsourcing yang tidak comply, pemberi kerja yang hanya peduli pada hasil, dan sistem yang terlalu lemah untuk menegakkan aturan. Sementara itu, pekerja outsourcing dibiarkan bertahan di bawah bayang-bayang ketidakpastian, mencoba menyambung hidup dengan segala keterbatasan.

Mari Kita Renungkan

Outsourcing seharusnya menjadi solusi yang saling menguntungkan. Tapi ketika manusia hanya dilihat sebagai angka, dan aturan hanya dianggap formalitas, kita kehilangan esensi dari apa artinya menjadi manusia. Bukankah sudah saatnya kita berhenti berpikir transaksional dan mulai melihat tenaga kerja sebagai investasi, bukan beban?

Jadi, untuk perusahaan outsourcing yang tidak comply dan pemberi kerja yang hanya peduli pada margin, ini saatnya Anda bertanya pada diri sendiri: Apa artinya menjadi manusia? Karena pada akhirnya, ini bukan hanya tentang efisiensi atau keuntungan, tapi tentang martabat dan kemanusiaan.

Catatan Penutup

Artikel ini ditujukan untuk mengkritisi praktik outsourcing yang tidak manusiawi dan mengingatkan bahwa di balik angka-angka itu ada kehidupan yang perlu dihormati. Semoga kita bisa merenung dan memperbaiki.

Referensi

Artikel yang mungkin membantu Confused? Here’s Your Outsourcing Guide