By: JD Darmawan Ardi P
Konflik sebagai Bagian Kehidupan
Membaca buku Aikido in Everyday Life: Giving in to Get Your Way benar-benar membuka mata saya mengenai makna konflik dan cara menghadapinya. Selama ini saya cenderung melihat konflik sebagai sesuatu yang negatif yang sebisa mungkin dihindari, atau sebaliknya sebagai ajang pembuktian di mana harus ada pihak yang “menang” dan “kalah”. Dobson dan Miller mengajak saya merevisi pandangan itu. Mereka menekankan bahwa konflik adalah bagian alami dari kehidupan manusia – netral, tidak inheren baik ataupun buruk. Konflik justru bisa menjadi peluang untuk tumbuh dan saling memahami jika dikelola dengan benar, alih-alih sesuatu yang selalu berakhir dengan permusuhan.
Salah satu wawasan penting dari buku ini adalah perlunya menghindari mentalitas menang-kalah dalam memandang konflik. Sebelum membaca, saya akui sering terjebak dalam pola pikir bahwa setiap konflik adalah pertandingan yang harus dimenangkan. Buku ini menunjukkan bahwa tidak semua konflik itu bersifat kompetisi langsung. Saya teringat sebuah kutipan dalam buku yang kurang lebih berbunyi, “It’s not whether you win or lose, but whether you choose to play the game.” Maksudnya, hal terpenting bukan soal menang atau kalahnya, melainkan keputusan kita apakah akan “ikut bermain” dalam konflik tersebut atau tidak. Kita diberi kebebasan untuk memilih cara merespons konflik, bahkan termasuk pilihan untuk tidak terlibat dalam pola pertarungan sama sekali. Wawasan ini mengubah cara pandang saya: daripada otomatis melihat pertikaian sebagai sesuatu yang harus dimenangkan, kini saya lebih fokus pada bagaimana menyikapi konflik tersebut dengan bijak.
Enam Strategi Merespons Konflik (Attack-tics)
Dobson dan Miller memperkenalkan enam opsi dasar dalam menghadapi konflik, yang mereka sebut sebagai kerangka “Attack-tics”. Keenam strategi merespons konflik ini memberi saya toolkit baru dalam situasi konflik. Ternyata, respons saya terhadap “serangan” atau konfrontasi bisa bermacam-macam, tidak lagi terbatas pada sekadar melawan atau lari. Enam opsi tersebut dijabarkan sebagai berikut:
- Melawan (Fighting Back): Menghadapi serangan dengan perlawanan langsung. Buku ini menyarankan bahwa melawan sebaiknya dijadikan opsi pamungkas, dipakai bila konflik sudah genting atau menyangkut hal prinsip/keamanan hidup. Saya merenungkan bahwa selama ini saya kadang terlalu cepat “angkat senjata” secara emosional, padahal fighting back yang efektif seharusnya dipakai selektif, hanya ketika benar-benar diperlukan.
- Mundur (Withdrawal): Menghindar atau menarik diri dari konflik. Sebelumnya saya menganggap mundur berarti kalah atau pengecut. Namun Dobson & Miller menjelaskan mundur dapat menjadi langkah strategis – misalnya ketika waktu dan tempat tidak tepat untuk berkonfrontasi, atau untuk memberi jarak sehingga emosi mereda. Saya jadi paham bahwa kadang withdrawal justru tindakan cerdas untuk mencegah situasi memburuk.
- Berunding (Parley): Mengajak dialog atau negosiasi dengan pihak lawan. Strategi ini digunakan ketika situasi konflik buntu dan tidak ada yang bisa benar-benar menang tanpa kompromi. Intinya, daripada ngotot berhadap-hadapan, kita bisa duduk bersama mencari solusi yang saling menguntungkan. Refleksi saya: opsi berunding menantang ego saya, karena berarti saya harus mendengarkan sudut pandang lawan dan rela berkompromi. Tapi buku ini mengingatkan bahwa parley sering kali membuka jalan keluar di saat konflik tampak mustahil diselesaikan.
- Diam Saja (Doing Nothing): Secara harfiah, tidak mengambil tindakan apa pun sebagai respons langsung. Awalnya saya sulit memahami bagaimana berdiam diri bisa menjadi strategi konflik. Ternyata, “tidak melakukan apa-apa” di sini adalah pilihan sadar untuk menunggu dan mengamati. Dengan diam sejenak, kita memberi ruang bagi lawan untuk mengungkapkan maksud sebenarnya, atau memberi waktu agar situasi mereda dengan sendirinya. Saya pernah mencoba pendekatan ini dalam sebuah perselisihan kecil, dan hasilnya mengejutkan – masalahnya kadang terselesaikan sendiri tanpa saya perlu intervensi apa-apa.
- Tipu Daya (Deception): Menggunakan taktik pengalihan atau muslihat untuk meredakan konflik. Contoh yang diberikan dalam buku cukup jenaka: dalam cerita Robin Hood vs Little John, salah satu bisa saja berteriak “Beruang! Lari cepat!” untuk mengalihkan perhatian lawan sejenak. Intinya, deception bukan tentang berdusta jahat, melainkan cara membeli waktu atau mengubah dinamika konflik. Sebagai orang yang menjunjung tinggi kejujuran, strategi ini terasa kontroversial bagi saya. Namun buku ini membuat saya sadar bahwa sedikit tipu muslihat yang tidak merugikan siapa pun bisa sah-sah saja demi mencegah kekerasan atau dampak lebih buruk.
- Aiki: Inilah inti dari pendekatan Aikido – merespons konflik dengan cara menyatukan diri dengan “serangan” lawan dan mengalihkannya. Alih-alih melawan tenaga dengan tenaga, kita mengalir bersama energi konflik tersebut untuk kemudian mengubah arahnya. Aiki berasal dari bahasa Jepang yang berarti “harmoni” atau “konfluensi,” dan dalam buku ini Aiki digambarkan sebagai upaya untuk memulihkan keseimbangan tanpa menghancurkan penyerang. Bagi saya, konsep Aiki terasa indah sekaligus menantang. Inilah opsi yang paling ideal – bagaimana kita bisa “menang” tanpa harus membuat orang lain kalah, melainkan dengan mengubah konflik menjadi kerjasama.
Mempelajari keenam strategi di atas sungguh membuka wawasan saya. Saya jadi mengerti bahwa saya selalu memiliki banyak pilihan dalam menghadapi pertikaian. Setiap opsi tersebut netral – tidak ada yang otomatis lebih benar atau salah. Penulis menegaskan bahwa tidak ada konotasi moral melekat pada pilihan melawan, mundur, berunding, diam, menipu, maupun Aiki. Semuanya bergantung pada kecocokan dengan situasi. Pemahaman ini menantang asumsi pribadi saya: dulu saya mengira “melawan balik” itu sikap berani dan terhormat sementara “mundur” adalah pengecut, atau “menipu” itu pasti buruk. Sekarang, saya sadar hal-hal itu tergantung konteks. Justru kebijaksanaan kita dalam memilih respons yang tepat yang menentukan hasil konflik, bukan gengsi atau stereotip benar-salahnya suatu opsi.
Pendekatan Aikido dalam Hubungan Sehari-hari
Inti filosofi Aikido, sebagaimana tercermin dalam buku ini, adalah pencarian harmoni dalam situasi konflik. Prinsip “Giving in to Get Your Way” (mengalah untuk mendapatkan jalan/keinginan kita) awalnya terdengar kontra-intuitif bagi saya. Namun setelah merenung, saya memahami maknanya: terkadang dengan tidak ngotot melawan, justru kita bisa mencapai tujuan kita secara lebih elegan dan damai. Pendekatan Aikido mendorong saya untuk “menjadi air, bukan batu karang,” seperti disampaikan buku ini. Air itu lentur, mengikuti aliran, dan dapat meredam benturan; sedangkan batu yang kaku justru mudah pecah ketika mendapat tekanan besar. Dalam konteks hubungan, saya menafsirkan nasihat ini sebagai ajakan untuk lebih fleksibel dan adaptif menghadapi kemarahan atau serangan emosi dari orang lain, daripada bersikukuh keras melawan.
Saya mulai mencoba menerapkan prinsip Aiki dalam interaksi sehari-hari, baik di lingkungan kerja maupun personal. Misalnya, ketika terjadi salah paham dengan rekan kerja dan ia mulai terdengar menyerang, naluri awal saya biasanya ingin membela diri dengan nada tinggi pula. Sekarang saya berusaha menahan diri sejenak (doing nothing sekejap untuk mengumpulkan informasi), menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri dan “menemukan pusat” keseimbangan seperti diajarkan di buku, lalu mendengarkan apa inti kekesalannya. Saya mencoba “bergabung dengan energinya” melalui empati – memahami perspektifnya dan mengakui perasaannya (flowing with the attack daripada resisting secara frontal). Hasilnya, saya mendapati lawan bicara cenderung lebih terbuka ketika merasa didengarkan. Ketika ketegangan mereda, baru saya arahkan percakapan menuju solusi (ini ibarat gerakan Aikido mengalihkan tenaga serangan menjadi upaya penyelesaian).
Tentu, menerapkan pendekatan harmonis ini tidak selalu mudah. Ada kalanya emosi pribadi saya sulit dikendalikan – ego saya masih ingin menang berdebat. Namun, buku ini mengingatkan pentingnya latihan dan kesadaran diri. Dobson dan Miller menekankan bahwa mengubah kebiasaan reaktif kita butuh latihan konsisten dan kesabaran, dimulai dari konflik-konflik kecil sehari-hari. Saya pun pelan-pelan mempraktikkan teknik centering (memusatkan perhatian pada titik dua jari di bawah pusar sambil mengatur napas) ketika terlibat diskusi panas. Walaupun awalnya canggung, saya merasakan perbedaan: saya lebih mampu menjaga nada suara tetap tenang dan tidak terpancing mengatakan hal-hal yang akan disesali. Pendekatan Aikido dalam komunikasi ini benar-benar membantu menciptakan suasana lebih damai; ibaratnya saya “menari” dengan konflik alih-alih berkelahi.
Selain itu, saya belajar bahwa “memberi jalan” bukan berarti kalah. Contohnya dalam hubungan dengan orang lain, dulu saya berpikir kalau saya mengalah dalam argumen, artinya saya kalah. Sekarang, saya melihat justru dengan sengaja mengalah sesekali (tentu dalam hal-hal yang tidak prinsipil), saya “menyalurkan” konflik ke arah yang lebih produktif. Orang lain merasa didengar, emosinya reda, dan akhirnya kami bisa bicara solusi. Ujungnya, keinginan saya pun lebih mudah tercapai karena tidak ada tembok resistensi dari dia. Ini persis esensi giving in to get your way: dengan berbesar hati mengalah, saya malah mendapatkan hasil yang saya butuhkan tanpa harus memaksa. Pendekatan ini tidak hanya meredakan konflik, tapi juga memperkuat rasa saling menghormati dalam berinteraksi.
Perubahan Cara Pandang: Menang, Kalah, dan Harmoni
Setelah menuntaskan buku ini, saya merasakan perubahan mendasar dalam cara pandang terhadap konflik, konsep menang-kalah, maupun hubungan antarmanusia. Konflik kini tidak lagi saya pandang sebagai ancaman yang menakutkan, melainkan sesuatu yang wajar terjadi dan bisa dikelola. Saya tidak lagi terlalu cemas saat perbedaan pendapat muncul, karena saya tahu ada berbagai jalan untuk meresponsnya. Bahkan, konflik yang diatasi dengan baik bisa memperdalam pemahaman saya tentang orang lain dan diri sendiri.
Mengenai konsep menang dan kalah, buku ini benar-benar menggugah pemikiran saya. Dulu, saya sangat khawatir dianggap kalah dalam pertengkaran – seakan harga diri saya turun jika mengalah. Sekarang saya menyadari bahwa menang secara egois tidak ada artinya jika hubungan saya dengan lawan konflik rusak. Sebaliknya, kemenangan sejati dalam konflik adalah ketika semua pihak merasa menang. Saya teringat satu pesan buku yang berbunyi “The best victory is the one in which everyone wins.” Menurut saya inilah esensi Aikido yang paling berkesan: tujuan akhirnya adalah harmoni dan saling menguntungkan. Kemenangan versi lama yang berarti membuat lawan takluk justru terasa hampa ketika dibandingkan dengan kemenangan bersama semacam ini.
Paradigma saya tentang kekalahan pun berubah. Saya tak lagi memandang mengalah atau mundur sebagai semata kekalahan, melainkan sebagai strategi jangka panjang. Ada kalanya “kalah sejenak” dalam perdebatan justru menghindarkan kekalahan lebih besar, misalnya hilangnya relasi baik atau penyesalan di kemudian hari. Dengan kata lain, buku ini mengajarkan saya memisahkan ego dari proses konflik. Fokusnya bukan lagi pada “aku vs kamu”, tetapi pada “kita vs masalahnya”.
Dampak paling positif dari perubahan cara pandang ini terasa dalam hubungan-hubungan saya. Saya menjadi lebih tenang dan mindful ketika terjadi gesekan dengan teman, keluarga, ataupun kolega. Alih-alih terburu-buru marah atau menarik diri sepenuhnya, saya mencoba melihat konflik sebagai kesempatan untuk memperkuat hubungan. Misalnya, dengan praktik Aiki, justru setelah konflik reda, sering muncul saling pengertian yang lebih dalam. Hubungan kami jadi makin kokoh karena kami berhasil melalui ujian emosi bersama-sama. Hal ini memperdalam keyakinan saya bahwa konflik yang ditangani dengan baik bisa mempererat ikatan, bukan merusaknya.
Secara emosional, membaca Aikido in Everyday Life juga menjadi pengalaman reflektif yang kaya. Saya beberapa kali terhenyak oleh contoh-contoh kisah dan prinsip yang diberikan. Ada perasaan lega mengetahui bahwa saya tidak wajib selalu benar atau menang dalam setiap situasi; kadang yang dibutuhkan justru kerendahan hati untuk yield (mengalah sejenak) demi kebaikan bersama. Tentu, saya juga merasa tertantang. Tantangan utamanya adalah konsistensi menerapkan semua ini di tengah rutinitas dan dorongan emosi nyata. Namun, penulis meyakinkan bahwa perubahan kebiasaan membutuhkan proses, dan setiap upaya kecil adalah kemajuan. Nasihat itu membantu saya untuk tidak frustrasi ketika sesekali masih terpancing emosi; saya belajar memaafkan diri sendiri dan kembali ke jalur harmoni.
Pada akhirnya, buku Aikido in Everyday Life telah memperdalam pemahaman saya bahwa menang dalam konflik bukan berarti mengalahkan lawan, melainkan mengatasi masalah dengan tetap menjaga martabat semua pihak. Saya menutup buku ini dengan perasaan optimis dan lebih percaya diri dalam menghadapi konflik-konflik kehidupan sehari-hari. Kini, setiap kali tanda-tanda konflik muncul, saya teringat prinsip Aikido: tetap tenang, jangan takut “memberi jalan”, dan cari cara agar semua keluar sebagai pemenang. Refleksi ini menjadikan pengalaman membaca buku tersebut tidak hanya sebatas teori di kepala, tapi benar-benar menyentuh cara saya menjalani hidup dan menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitar saya.
