+62.31.598.1809 info@hcg.co.id

Tim Efektif Punya 3 Kebiasaan Ini

Bekerja dalam tim bisa jadi pengalaman yang menyenangkan – atau justru bikin frustrasi. Pernahkah Anda bertanya, kenapa ada tim yang selalu kompak mencapai target sementara tim lain ribut terus karena salah paham? Ternyata, tim yang efektif tidak terbentuk dalam semalam. Mereka membangun kebiasaan-kebiasaan kunci dalam cara bekerja sehari-hari. Di bawah ini, kita akan bahas tiga kebiasaan utama tim efektif – termasuk metode Radical Candor yang terkenal – yang bisa Anda coba terapkan agar tim Anda makin solid dan produktif.

1. Radical Candor (Blak-blakan dengan Kepedulian)

Kebiasaan pertama adalah menerapkan Radical Candor dalam komunikasi tim. Istilah ini dipopulerkan oleh Kim Scott dan intinya memberikan umpan balik secara jujur dan langsung, namun tetap dengan empati. Artinya, setiap anggota tim – terutama pemimpin – berani menyampaikan kritik atau saran secara blak-blakan demi kebaikan bersama, sambil menunjukkan bahwa kita benar-benar peduli pada orang yang diberi masukan.

Pendekatan terbuka semacam ini menghindarkan tim dari dua ekstrem: pujian kosong yang tidak membantu, atau kritik pedas yang menjatuhkan semangat. Dengan Radical Candor, feedback diberikan apa adanya tanpa basa-basi tapi juga tanpa bermaksud kasar. Hasilnya, tim bisa segera memperbaiki kesalahan dan belajar karena setiap orang tahu kekurangan mereka disampaikan untuk membangun, bukan menyerang.

2. Menciptakan Rasa Aman untuk Berpendapat

Kebiasaan kedua, tim efektif menciptakan suasana yang aman secara psikologis (psychological safety) bagi semua anggotanya. Maksudnya, setiap orang merasa bebas untuk berbicara, mengajukan pertanyaan, memberikan ide, bahkan melakukan kesalahan, tanpa takut dihukum atau dipermalukan.

Studi Google lewat Project Aristotle menemukan bahwa psychological safety merupakan faktor paling vital dalam tim berperforma tinggi – tim dengan tingkat rasa aman tinggi terbukti lebih kreatif, inovatif, dan cepat memecahkan masalah.

3. Menyatukan Tujuan dan Peran yang Jelas

Terakhir, tim yang efektif selalu membiasakan menyatukan tujuan dan memperjelas peran setiap anggota. Mereka memastikan semua orang paham betul mau dibawa ke mana arah kerja tim. Dengan visi atau target bersama yang jelas, tim memiliki kompas yang memandu keputusan dan prioritas sehari-hari.

Selain tujuan, pembagian peran yang jelas juga bagian dari kebiasaan ini. Setiap anggota tim tahu tanggung jawab masing-masing, sehingga kolaborasi lebih lancar dan tidak ada tugas yang terlewat atau tumpang-tindih.

Saatnya Menerapkan Kebiasaan Ini

Tiga kebiasaan di atas terdengar sederhana, tapi dampaknya luar biasa bagi kerja tim. Tentu, membangun kebiasaan tim efektif tidak terjadi dalam semalam – perlu komitmen dan latihan terus-menerus. Mulailah sedikit demi sedikit: biasakan memberi umpan balik jujur nan konstruktif, ciptakan lingkungan di mana semua orang berani berbicara, dan rutin selaraskan tujuan serta peran tim.

Perubahan kecil yang konsisten akan membuat kerja tim Anda semakin lancar, komunikatif, dan tepat sasaran. Jadi, jangan ragu menerapkan kebiasaan-kebiasaan ini. Dengan waktu dan ketelatenan, Anda bisa melihat tim Anda tumbuh menjadi tim yang efektif, kompak, dan berprestasi tinggi. Selamat mencoba!

Sumber:

Riset dibantu chatGPT

Harmoni dalam Konflik Sehari-hari

 

By: JD Darmawan Ardi P

Konflik sebagai Bagian Kehidupan

Membaca buku Aikido in Everyday Life: Giving in to Get Your Way benar-benar membuka mata saya mengenai makna konflik dan cara menghadapinya. Selama ini saya cenderung melihat konflik sebagai sesuatu yang negatif yang sebisa mungkin dihindari, atau sebaliknya sebagai ajang pembuktian di mana harus ada pihak yang “menang” dan “kalah”. Dobson dan Miller mengajak saya merevisi pandangan itu. Mereka menekankan bahwa konflik adalah bagian alami dari kehidupan manusia – netral, tidak inheren baik ataupun buruk. Konflik justru bisa menjadi peluang untuk tumbuh dan saling memahami jika dikelola dengan benar, alih-alih sesuatu yang selalu berakhir dengan permusuhan.

Salah satu wawasan penting dari buku ini adalah perlunya menghindari mentalitas menang-kalah dalam memandang konflik. Sebelum membaca, saya akui sering terjebak dalam pola pikir bahwa setiap konflik adalah pertandingan yang harus dimenangkan. Buku ini menunjukkan bahwa tidak semua konflik itu bersifat kompetisi langsung. Saya teringat sebuah kutipan dalam buku yang kurang lebih berbunyi, “It’s not whether you win or lose, but whether you choose to play the game.” Maksudnya, hal terpenting bukan soal menang atau kalahnya, melainkan keputusan kita apakah akan “ikut bermain” dalam konflik tersebut atau tidak. Kita diberi kebebasan untuk memilih cara merespons konflik, bahkan termasuk pilihan untuk tidak terlibat dalam pola pertarungan sama sekali. Wawasan ini mengubah cara pandang saya: daripada otomatis melihat pertikaian sebagai sesuatu yang harus dimenangkan, kini saya lebih fokus pada bagaimana menyikapi konflik tersebut dengan bijak.

Enam Strategi Merespons Konflik (Attack-tics)

Dobson dan Miller memperkenalkan enam opsi dasar dalam menghadapi konflik, yang mereka sebut sebagai kerangka “Attack-tics”. Keenam strategi merespons konflik ini memberi saya toolkit baru dalam situasi konflik. Ternyata, respons saya terhadap “serangan” atau konfrontasi bisa bermacam-macam, tidak lagi terbatas pada sekadar melawan atau lari. Enam opsi tersebut dijabarkan sebagai berikut:

  • Melawan (Fighting Back): Menghadapi serangan dengan perlawanan langsung. Buku ini menyarankan bahwa melawan sebaiknya dijadikan opsi pamungkas, dipakai bila konflik sudah genting atau menyangkut hal prinsip/keamanan hidup. Saya merenungkan bahwa selama ini saya kadang terlalu cepat “angkat senjata” secara emosional, padahal fighting back yang efektif seharusnya dipakai selektif, hanya ketika benar-benar diperlukan.
  • Mundur (Withdrawal): Menghindar atau menarik diri dari konflik. Sebelumnya saya menganggap mundur berarti kalah atau pengecut. Namun Dobson & Miller menjelaskan mundur dapat menjadi langkah strategis – misalnya ketika waktu dan tempat tidak tepat untuk berkonfrontasi, atau untuk memberi jarak sehingga emosi mereda. Saya jadi paham bahwa kadang withdrawal justru tindakan cerdas untuk mencegah situasi memburuk.
  • Berunding (Parley): Mengajak dialog atau negosiasi dengan pihak lawan. Strategi ini digunakan ketika situasi konflik buntu dan tidak ada yang bisa benar-benar menang tanpa kompromi. Intinya, daripada ngotot berhadap-hadapan, kita bisa duduk bersama mencari solusi yang saling menguntungkan. Refleksi saya: opsi berunding menantang ego saya, karena berarti saya harus mendengarkan sudut pandang lawan dan rela berkompromi. Tapi buku ini mengingatkan bahwa parley sering kali membuka jalan keluar di saat konflik tampak mustahil diselesaikan.
  • Diam Saja (Doing Nothing): Secara harfiah, tidak mengambil tindakan apa pun sebagai respons langsung. Awalnya saya sulit memahami bagaimana berdiam diri bisa menjadi strategi konflik. Ternyata, “tidak melakukan apa-apa” di sini adalah pilihan sadar untuk menunggu dan mengamati. Dengan diam sejenak, kita memberi ruang bagi lawan untuk mengungkapkan maksud sebenarnya, atau memberi waktu agar situasi mereda dengan sendirinya. Saya pernah mencoba pendekatan ini dalam sebuah perselisihan kecil, dan hasilnya mengejutkan – masalahnya kadang terselesaikan sendiri tanpa saya perlu intervensi apa-apa.
  • Tipu Daya (Deception): Menggunakan taktik pengalihan atau muslihat untuk meredakan konflik. Contoh yang diberikan dalam buku cukup jenaka: dalam cerita Robin Hood vs Little John, salah satu bisa saja berteriak “Beruang! Lari cepat!” untuk mengalihkan perhatian lawan sejenak. Intinya, deception bukan tentang berdusta jahat, melainkan cara membeli waktu atau mengubah dinamika konflik. Sebagai orang yang menjunjung tinggi kejujuran, strategi ini terasa kontroversial bagi saya. Namun buku ini membuat saya sadar bahwa sedikit tipu muslihat yang tidak merugikan siapa pun bisa sah-sah saja demi mencegah kekerasan atau dampak lebih buruk.
  • Aiki: Inilah inti dari pendekatan Aikido – merespons konflik dengan cara menyatukan diri dengan “serangan” lawan dan mengalihkannya. Alih-alih melawan tenaga dengan tenaga, kita mengalir bersama energi konflik tersebut untuk kemudian mengubah arahnya. Aiki berasal dari bahasa Jepang yang berarti “harmoni” atau “konfluensi,” dan dalam buku ini Aiki digambarkan sebagai upaya untuk memulihkan keseimbangan tanpa menghancurkan penyerang. Bagi saya, konsep Aiki terasa indah sekaligus menantang. Inilah opsi yang paling ideal – bagaimana kita bisa “menang” tanpa harus membuat orang lain kalah, melainkan dengan mengubah konflik menjadi kerjasama.

Mempelajari keenam strategi di atas sungguh membuka wawasan saya. Saya jadi mengerti bahwa saya selalu memiliki banyak pilihan dalam menghadapi pertikaian. Setiap opsi tersebut netral – tidak ada yang otomatis lebih benar atau salah. Penulis menegaskan bahwa tidak ada konotasi moral melekat pada pilihan melawan, mundur, berunding, diam, menipu, maupun Aiki. Semuanya bergantung pada kecocokan dengan situasi. Pemahaman ini menantang asumsi pribadi saya: dulu saya mengira “melawan balik” itu sikap berani dan terhormat sementara “mundur” adalah pengecut, atau “menipu” itu pasti buruk. Sekarang, saya sadar hal-hal itu tergantung konteks. Justru kebijaksanaan kita dalam memilih respons yang tepat yang menentukan hasil konflik, bukan gengsi atau stereotip benar-salahnya suatu opsi.

Pendekatan Aikido dalam Hubungan Sehari-hari

Inti filosofi Aikido, sebagaimana tercermin dalam buku ini, adalah pencarian harmoni dalam situasi konflik. Prinsip “Giving in to Get Your Way” (mengalah untuk mendapatkan jalan/keinginan kita) awalnya terdengar kontra-intuitif bagi saya. Namun setelah merenung, saya memahami maknanya: terkadang dengan tidak ngotot melawan, justru kita bisa mencapai tujuan kita secara lebih elegan dan damai. Pendekatan Aikido mendorong saya untuk “menjadi air, bukan batu karang,” seperti disampaikan buku ini. Air itu lentur, mengikuti aliran, dan dapat meredam benturan; sedangkan batu yang kaku justru mudah pecah ketika mendapat tekanan besar. Dalam konteks hubungan, saya menafsirkan nasihat ini sebagai ajakan untuk lebih fleksibel dan adaptif menghadapi kemarahan atau serangan emosi dari orang lain, daripada bersikukuh keras melawan.

Saya mulai mencoba menerapkan prinsip Aiki dalam interaksi sehari-hari, baik di lingkungan kerja maupun personal. Misalnya, ketika terjadi salah paham dengan rekan kerja dan ia mulai terdengar menyerang, naluri awal saya biasanya ingin membela diri dengan nada tinggi pula. Sekarang saya berusaha menahan diri sejenak (doing nothing sekejap untuk mengumpulkan informasi), menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri dan “menemukan pusat” keseimbangan seperti diajarkan di buku, lalu mendengarkan apa inti kekesalannya. Saya mencoba “bergabung dengan energinya” melalui empati – memahami perspektifnya dan mengakui perasaannya (flowing with the attack daripada resisting secara frontal). Hasilnya, saya mendapati lawan bicara cenderung lebih terbuka ketika merasa didengarkan. Ketika ketegangan mereda, baru saya arahkan percakapan menuju solusi (ini ibarat gerakan Aikido mengalihkan tenaga serangan menjadi upaya penyelesaian).

Tentu, menerapkan pendekatan harmonis ini tidak selalu mudah. Ada kalanya emosi pribadi saya sulit dikendalikan – ego saya masih ingin menang berdebat. Namun, buku ini mengingatkan pentingnya latihan dan kesadaran diri. Dobson dan Miller menekankan bahwa mengubah kebiasaan reaktif kita butuh latihan konsisten dan kesabaran, dimulai dari konflik-konflik kecil sehari-hari. Saya pun pelan-pelan mempraktikkan teknik centering (memusatkan perhatian pada titik dua jari di bawah pusar sambil mengatur napas) ketika terlibat diskusi panas. Walaupun awalnya canggung, saya merasakan perbedaan: saya lebih mampu menjaga nada suara tetap tenang dan tidak terpancing mengatakan hal-hal yang akan disesali. Pendekatan Aikido dalam komunikasi ini benar-benar membantu menciptakan suasana lebih damai; ibaratnya saya “menari” dengan konflik alih-alih berkelahi.

Selain itu, saya belajar bahwa “memberi jalan” bukan berarti kalah. Contohnya dalam hubungan dengan orang lain, dulu saya berpikir kalau saya mengalah dalam argumen, artinya saya kalah. Sekarang, saya melihat justru dengan sengaja mengalah sesekali (tentu dalam hal-hal yang tidak prinsipil), saya “menyalurkan” konflik ke arah yang lebih produktif. Orang lain merasa didengar, emosinya reda, dan akhirnya kami bisa bicara solusi. Ujungnya, keinginan saya pun lebih mudah tercapai karena tidak ada tembok resistensi dari dia. Ini persis esensi giving in to get your way: dengan berbesar hati mengalah, saya malah mendapatkan hasil yang saya butuhkan tanpa harus memaksa. Pendekatan ini tidak hanya meredakan konflik, tapi juga memperkuat rasa saling menghormati dalam berinteraksi.

Perubahan Cara Pandang: Menang, Kalah, dan Harmoni

Setelah menuntaskan buku ini, saya merasakan perubahan mendasar dalam cara pandang terhadap konflik, konsep menang-kalah, maupun hubungan antarmanusia. Konflik kini tidak lagi saya pandang sebagai ancaman yang menakutkan, melainkan sesuatu yang wajar terjadi dan bisa dikelola. Saya tidak lagi terlalu cemas saat perbedaan pendapat muncul, karena saya tahu ada berbagai jalan untuk meresponsnya. Bahkan, konflik yang diatasi dengan baik bisa memperdalam pemahaman saya tentang orang lain dan diri sendiri.

Mengenai konsep menang dan kalah, buku ini benar-benar menggugah pemikiran saya. Dulu, saya sangat khawatir dianggap kalah dalam pertengkaran – seakan harga diri saya turun jika mengalah. Sekarang saya menyadari bahwa menang secara egois tidak ada artinya jika hubungan saya dengan lawan konflik rusak. Sebaliknya, kemenangan sejati dalam konflik adalah ketika semua pihak merasa menang. Saya teringat satu pesan buku yang berbunyi “The best victory is the one in which everyone wins.” Menurut saya inilah esensi Aikido yang paling berkesan: tujuan akhirnya adalah harmoni dan saling menguntungkan. Kemenangan versi lama yang berarti membuat lawan takluk justru terasa hampa ketika dibandingkan dengan kemenangan bersama semacam ini.

Paradigma saya tentang kekalahan pun berubah. Saya tak lagi memandang mengalah atau mundur sebagai semata kekalahan, melainkan sebagai strategi jangka panjang. Ada kalanya “kalah sejenak” dalam perdebatan justru menghindarkan kekalahan lebih besar, misalnya hilangnya relasi baik atau penyesalan di kemudian hari. Dengan kata lain, buku ini mengajarkan saya memisahkan ego dari proses konflik. Fokusnya bukan lagi pada “aku vs kamu”, tetapi pada “kita vs masalahnya”.

Dampak paling positif dari perubahan cara pandang ini terasa dalam hubungan-hubungan saya. Saya menjadi lebih tenang dan mindful ketika terjadi gesekan dengan teman, keluarga, ataupun kolega. Alih-alih terburu-buru marah atau menarik diri sepenuhnya, saya mencoba melihat konflik sebagai kesempatan untuk memperkuat hubungan. Misalnya, dengan praktik Aiki, justru setelah konflik reda, sering muncul saling pengertian yang lebih dalam. Hubungan kami jadi makin kokoh karena kami berhasil melalui ujian emosi bersama-sama. Hal ini memperdalam keyakinan saya bahwa konflik yang ditangani dengan baik bisa mempererat ikatan, bukan merusaknya.

Secara emosional, membaca Aikido in Everyday Life juga menjadi pengalaman reflektif yang kaya. Saya beberapa kali terhenyak oleh contoh-contoh kisah dan prinsip yang diberikan. Ada perasaan lega mengetahui bahwa saya tidak wajib selalu benar atau menang dalam setiap situasi; kadang yang dibutuhkan justru kerendahan hati untuk yield (mengalah sejenak) demi kebaikan bersama. Tentu, saya juga merasa tertantang. Tantangan utamanya adalah konsistensi menerapkan semua ini di tengah rutinitas dan dorongan emosi nyata. Namun, penulis meyakinkan bahwa perubahan kebiasaan membutuhkan proses, dan setiap upaya kecil adalah kemajuan. Nasihat itu membantu saya untuk tidak frustrasi ketika sesekali masih terpancing emosi; saya belajar memaafkan diri sendiri dan kembali ke jalur harmoni.

Pada akhirnya, buku Aikido in Everyday Life telah memperdalam pemahaman saya bahwa menang dalam konflik bukan berarti mengalahkan lawan, melainkan mengatasi masalah dengan tetap menjaga martabat semua pihak. Saya menutup buku ini dengan perasaan optimis dan lebih percaya diri dalam menghadapi konflik-konflik kehidupan sehari-hari. Kini, setiap kali tanda-tanda konflik muncul, saya teringat prinsip Aikido: tetap tenang, jangan takut “memberi jalan”, dan cari cara agar semua keluar sebagai pemenang. Refleksi ini menjadikan pengalaman membaca buku tersebut tidak hanya sebatas teori di kepala, tapi benar-benar menyentuh cara saya menjalani hidup dan menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitar saya.

Langkah Ideal untuk Hidup Sehat

Berjalan kaki merupakan salah satu bentuk olahraga sederhana yang dapat dilakukan oleh siapa saja, dari anak-anak hingga lansia. Aktivitas ini tidak memerlukan peralatan khusus, gratis, dan bisa dilakukan di mana saja. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan setiap orang melakukan aktivitas fisik intensitas sedang setidaknya 150 menit per minggu – setara dengan 30 menit per hari selama lima hari.[1] Berjalan kaki dapat menjadi cara yang efektif untuk memenuhi rekomendasi tersebut karena mudah diakses dan bisa disesuaikan dengan usia maupun kondisi masing-masing individu.[1]

Mengapa Memilih Jalan Kaki?

Jalan kaki menawarkan beragam manfaat kesehatan. Meskipun terlihat sederhana, langkah-langkah kecil setiap hari dapat memberikan dampak besar bagi kebugaran tubuh. Berikut beberapa manfaat utama dari olahraga jalan kaki secara rutin:

  • Meningkatkan kesehatan jantung: Berjalan kaki membantu melancarkan sirkulasi darah dan menurunkan tekanan darah, sehingga mengurangi risiko penyakit jantung.
  • Mengontrol berat badan: Aktivitas ini membakar kalori dan meningkatkan metabolisme. Rutin berjalan setiap hari membantu menjaga berat badan tetap ideal dan mencegah obesitas.
  • Memperkuat otot dan tulang: Jalan kaki termasuk latihan menahan beban yang dapat meningkatkan kepadatan tulang serta memperkuat otot kaki. Hal ini penting untuk mencegah osteoporosis, terutama pada lansia.[4]
  • Menyehatkan persendian: Gerakan berjalan melumasi sendi lutut dan pinggul, membantu menjaga fleksibilitas dan mengurangi nyeri sendi. Penelitian menunjukkan berjalan kaki sekitar 1 jam per minggu saja sudah dapat membantu mencegah artritis dan disabilitas pada usia lanjut.
  • Meningkatkan mood dan kesehatan mental: Olahraga ringan seperti berjalan merangsang pelepasan hormon endorfin yang dapat meningkatkan suasana hati dan mengurangi stres. Sebuah studi bahkan menemukan bahwa berjalan kaki 30 menit setiap hari secara signifikan menurunkan gejala depresi dan kecemasan.[1]
  • Meningkatkan sistem imun: Rutin berjalan juga berdampak positif pada kekebalan tubuh. Dalam musim flu, orang yang berjalan kaki minimal 20 menit per hari, 5 kali seminggu, dilaporkan memiliki hari sakit 43% lebih sedikit dibanding mereka yang jarang berolahraga.[3]

Manfaat-manfaat di atas menjadikan jalan kaki sebagai pilihan olahraga yang cocok di segala usia. Selain rendah risiko cedera dibandingkan olahraga berat, jalan kaki dapat dilakukan sesuai kemampuan dan kondisi masing-masing orang.

Jalan Kaki di Setiap Tahap Usia

Anak-Anak dan Remaja

Bagi anak-anak dan remaja, aktivitas fisik seperti jalan kaki penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan anak usia 6–17 tahun untuk beraktivitas aerobik setidaknya 60 menit setiap hari. Jumlah ini kira-kira setara dengan 11.000–12.000 langkah per hari.[2] Berjalan kaki dapat menjadi bagian dari aktivitas tersebut, misalnya dengan berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah, bermain di luar rumah, atau sekadar berjalan-jalan di taman. Kebiasaan aktif sejak dini akan membantu anak memiliki tulang yang kuat, berat badan sehat, dan kebiasaan hidup bugar hingga dewasa.

Dewasa

Bagi orang dewasa, berjalan kaki adalah cara mudah untuk mempertahankan kebugaran di tengah kesibukan. Para ahli menyarankan untuk menempuh sekitar 8.000–10.000 langkah per hari (sekitar 6–8 km) bagi orang dewasa guna memperoleh manfaat kesehatan optimal.[2] Jumlah langkah ini sejalan dengan rekomendasi aktivitas fisik harian dan telah terbukti membantu meningkatkan kesehatan jantung, kekuatan otot, fleksibilitas, serta memperbaiki kualitas tidur dan mood. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak langkah yang ditempuh per hari, risiko kematian dini akibat berbagai penyakit pun semakin menurun secara signifikan.[2] Berjalan kaki dengan kecepatan sedang hingga cepat selama 30–60 menit juga efektif untuk membantu mengendalikan gula darah dan kolesterol.

Bagi orang dewasa yang sibuk, berjalan kaki bisa disisipkan dalam rutinitas harian. Contohnya, memilih berjalan kaki saat pergi ke warung atau kantor pos terdekat, turun dari transportasi umum satu halte lebih awal lalu berjalan ke tujuan, atau berjalan kaki mengelilingi kantor selama istirahat. Dengan cara ini, tanpa disadari jumlah langkah harian akan bertambah dan tubuh tetap aktif.

Lansia

Kelompok lanjut usia sangat dianjurkan tetap aktif bergerak untuk menjaga kesehatan dan kemandirian. Berjalan kaki termasuk olahraga yang aman bagi lansia karena intensitasnya dapat disesuaikan. Rekomendasi jarak untuk lansia umumnya sedikit lebih rendah dibanding dewasa muda, yaitu sekitar 6.000–8.000 langkah per hari sudah memberikan manfaat kesehatan yang signifikan.[2] Pada lansia, rutin berjalan kaki terbukti dapat menurunkan risiko penyakit kronis, membantu menjaga kelenturan sendi, serta mencegah penurunan fungsi kognitif (seperti demensia) seiring bertambahnya usia. Aktivitas ini juga membantu menjaga keseimbangan tubuh sehingga mengurangi risiko jatuh.

Namun, lansia perlu memperhatikan kondisi fisiknya. Sangat disarankan untuk memulai secara bertahap dan menggunakan alat bantu (seperti tongkat) bila diperlukan. Konsultasi dengan dokter sebelum memulai program jalan kaki juga bijaksana, terutama bagi yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, agar rutinitas ini aman dan sesuai kemampuan.[2]

Tips Menjaga Kebugaran dengan Jalan Kaki

Agar manfaat jalan kaki dapat dirasakan optimal, konsistensi dan cara melakukannya perlu diperhatikan. Berikut beberapa tips dan panduan praktis untuk memulai serta mempertahankan kebiasaan jalan kaki:

  • Tetapkan target harian yang realistis: Mulailah dengan target langkah atau durasi yang sesuai kemampuan. Misalnya, target awal 2.000–3.000 langkah per hari, kemudian tingkatkan secara bertahap menjadi 5.000 langkah atau lebih. Pencapaian kecil ini akan memotivasi Anda untuk terus meningkatkan aktivitas.
  • Jadwalkan waktu berjalan kaki: Sisihkan waktu khusus setiap hari untuk berjalan kaki, entah di pagi hari sebelum beraktivitas atau sore hari selepas kerja. Menjadwalkan aktivitas ini membantu menjadikannya bagian rutin dari keseharian Anda.
  • Manfaatkan kesempatan untuk bergerak: Tambahkan langkah dalam aktivitas harian tanpa perlu waktu khusus. Contohnya, pilih menaiki tangga daripada lift atau eskalator, berjalan kaki saat istirahat makan siang, atau parkir kendaraan sedikit lebih jauh agar Anda punya jarak lebih untuk berjalan.[2]
  • Buat aktivitas lebih menyenangkan: Agar tidak bosan, cobalah variasikan pengalaman berjalan kaki Anda. Ubah rute secara berkala – misalnya berjalan di taman atau lingkungan baru – untuk mendapatkan suasana berbeda. Anda juga bisa mendengarkan musik atau podcast favorit saat berjalan (pastikan tetap waspada terhadap lingkungan sekitar demi keselamatan).
  • Berjalan bersama teman atau kelompok: Ajak keluarga, teman, atau bergabung dengan komunitas jalan kaki. Berolahraga bersama dapat membuat kegiatan ini lebih menyenangkan dan Anda saling memotivasi satu sama lain. Selain itu, ini juga menjadi aktivitas sosial yang bermanfaat bagi kesehatan mental.
  • Tingkatkan intensitas secara bertahap: Seiring meningkatnya kebugaran, Anda bisa menambah tantangan dalam rutinitas jalan kaki. Misalnya, tingkatkan kecepatan berjalan (jalan cepat), pilih rute dengan tanjakan atau anak tangga, atau sekali-sekali gunakan beban ringan seperti weighted vest. Variasi ini akan melatih otot dan stamina lebih baik serta mencegah kebosanan.[1]
  • Gunakan alat bantu pemantau: Pertimbangkan memakai pedometer atau aplikasi penghitung langkah di ponsel. Alat ini membantu memantau progress harian Anda dan dapat menjadi motivasi tambahan. Melihat jumlah langkah tercapai setiap hari memberi dorongan untuk mempertahankan atau bahkan melampaui target.

Dengan menerapkan tips di atas, berjalan kaki dapat menjadi kebiasaan yang melekat dalam gaya hidup Anda. Ingatlah untuk selalu mendengarkan tubuh sendiri – jika terasa lelah berlebihan atau nyeri, beristirahatlah. Konsistensi lebih penting daripada memaksakan diri. Sedikit berjalan kaki setiap hari, apabila dilakukan rutin, akan lebih bermanfaat daripada berolahraga berat tapi jarang.

“Rutin jalan kaki setidaknya 30 menit setiap hari itu akan memperpanjang usia tulang dan mengurangi risiko terkena osteoporosis dan osteoartritis,”

Demikian ungkap Dr. Tirta, seorang dokter dan influencer kesehatan, mengenai besarnya manfaat berjalan kaki bagi kesehatan tulang.[4]

Pada akhirnya, jalan kaki adalah langkah kecil yang bisa membawa perubahan besar bagi kesehatan. Di segala usia, melangkahlah menuju hidup yang lebih bugar. Mulai dari sekarang, mari jadikan jalan kaki sebagai bagian dari rutinitas harian untuk meraih tubuh yang sehat dan jiwa yang lebih bahagia.

Penyusunan artikel ini dibantu riset dengan chatGPT. 

Mengapa Disiplin Itu Sulit?

“Kita semua harus menanggung salah satu dari dua derita: derita disiplin atau derita penyesalan,” ujar motivator Jim Rohn.
Disiplin diri adalah kunci menuju pencapaian, namun kenyataannya banyak orang merasa sulit menerapkannya secara konsisten. Survei American Psychological Association menemukan 27% orang menyebut kurangnya kemauan (willpower) sebagai hambatan utama mencapai tujuan pribadi mereka. Artikel ini mengulas mengapa menjaga disiplin begitu menantang dari sisi psikologis dan budaya, membahas miskonsepsi umum tentang disiplin, serta membagikan cara-cara terbaik membangun disiplin berdasarkan penelitian ilmiah terkini.

Mengapa Disiplin Itu Sulit?

  1. Otak Mengutamakan Kenikmatan Instan: Secara alami, manusia cenderung memilih kepuasan langsung daripada manfaat jangka panjang. Psikolog menyebut ini present bias. Studi “marshmallow test” oleh Walter Mischel menunjukkan betapa sulitnya anak-anak menunda gratifikasi demi hasil yang lebih baik.
  2. Ada “Perlawanan” dari Dalam Diri: Disiplin berarti melakukan hal tidak nyaman demi masa depan. Otak melihat tugas berat sebagai ancaman terhadap kenyamanan, sehingga kita mudah tergoda menunda-nunda. Ketakutan akan kegagalan pun membuat kita lari dari tanggung jawab.
  3. Kemauan yang Terbatas dan Kelelahan: Teori ego depletion menunjukkan bahwa willpower bisa terkuras bila digunakan terus-menerus. Kurang tidur, stres, dan kelelahan membuat kita semakin sulit mengendalikan diri.
  4. Lingkungan Penuh Distraksi: Gawai, media sosial, dan budaya instan membuat kita lebih mudah terdistraksi daripada fokus membangun kebiasaan disiplin jangka panjang.

Pengaruh Budaya terhadap Disiplin

Budaya sangat memengaruhi kebiasaan disiplin. Studi dalam Psychological Science (2022) menunjukkan anak-anak Jepang lebih mampu menunggu untuk makanan, sementara anak-anak Amerika lebih mampu menahan diri terhadap hadiah. Ini mencerminkan norma budaya berbeda. Penelitian lain menunjukkan mahasiswa Tiongkok memiliki self-control lebih tinggi secara perilaku dibanding mahasiswa Amerika, meskipun secara persepsi merasa kurang disiplin.

Kesalahpahaman Umum tentang Disiplin

  • “Disiplin = Menghukum Diri”: Riset Kristin Neff menunjukkan bahwa self-compassion lebih efektif dibanding kritik diri berlebihan dalam mempertahankan motivasi.
  • “Disiplin = Tekad Besi”: Orang yang disiplin biasanya menikmati prosesnya, bukan sekadar menekan keinginan.
  • “Disiplin adalah Bakat”: APA (American Psychological Association) menyatakan self-control bisa dilatih. Persepsi bahwa disiplin adalah bawaan justru melemahkan motivasi belajar.
  • “Disiplin Bertentangan dengan Kebebasan”: Jocko Willink mengatakan, “Discipline equals freedom” – karena disiplin memberi kontrol dan pilihan yang lebih luas di masa depan.

Cara Membangun dan Mempertahankan Disiplin Diri

  • Mulai dari Langkah Kecil: Perubahan bertahap lebih efektif dan membangun kepercayaan diri.
  • Bangun Kebiasaan Rutin: Studi Phillippa Lally menyebut dibutuhkan rata-rata 66 hari untuk membentuk kebiasaan otomatis.
  • Atur Lingkungan: Menurut James Clear dalam Atomic Habits, menghindari godaan lebih mudah daripada melawannya terus-menerus.
  • Kelola Energi dan Istirahat: Tidur cukup dan pemulihan terencana sangat penting untuk menjaga kemauan.
  • Latih Fokus dan Mindfulness: Meditasi membantu meningkatkan kendali atas impuls dan meningkatkan fokus.
  • Gunakan Reward dan Self-Compassion: Beri penghargaan atas progres dan perlakukan kegagalan sebagai pelajaran, bukan alasan menyerah.

Kesimpulan

Disiplin diri memang menantang, namun bukan mustahil. Dengan pemahaman psikologi, kebiasaan, dan budaya, serta strategi yang tepat, siapa pun bisa melatih disiplin yang berkelanjutan. Disiplin adalah jembatan antara impian dan kenyataan.

Referensi:

Riset dibantu chatGPT

7 Kebiasaan Covey untuk Hidup Efektif

Stephen Covey, dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People, memperkenalkan konsep yang kuat untuk pengembangan diri dan efektivitas dalam menjalani kehidupan pribadi maupun profesional. Kebiasaan-kebiasaan ini mengajarkan prinsip-prinsip mendasar yang dapat membantu seseorang mencapai keseimbangan, produktivitas, dan kepuasan hidup. Berikut adalah rangkuman singkat dari 7 kebiasaan tersebut:

  1. Bersikap Proaktif (Be Proactive) Kebiasaan pertama mengajarkan pentingnya tanggung jawab pribadi. Orang yang proaktif fokus pada hal-hal yang bisa mereka kendalikan, dan tidak membuang waktu atau energi pada situasi yang berada di luar kendali. Dengan menjadi proaktif, kita dapat membuat keputusan dengan penuh kesadaran daripada bereaksi secara impulsif terhadap situasi.
  2. Mulai dengan Akhir dalam Pikiran (Begin with the End in Mind) Covey mengajarkan bahwa efektivitas dimulai dengan visi yang jelas tentang tujuan hidup kita. Dengan memahami apa yang ingin kita capai, kita bisa merencanakan langkah-langkah untuk mencapainya dan memastikan setiap tindakan selaras dengan visi jangka panjang kita.
  3. Dahulukan yang Utama (Put First Things First) Penting untuk menetapkan prioritas berdasarkan pentingnya, bukan mendahulukan hal-hal yang sekadar mendesak. Habit ini menekankan pentingnya manajemen waktu yang baik dengan memastikan bahwa kegiatan yang membawa dampak besar pada tujuan jangka panjang kita selalu menjadi prioritas.
  4. Berpikir Menang-Menang (Think Win-Win) Dalam hubungan profesional dan pribadi, Covey mendorong pendekatan “menang-menang” di mana kedua pihak memperoleh keuntungan. Berpikir menang-menang berarti mencari solusi yang bermanfaat untuk semua pihak yang terlibat, alih-alih melihat interaksi sebagai kompetisi.
  5. Pahami Dahulu, Baru Dipahami (Seek First to Understand, Then to Be Understood) Mendengarkan dengan empati adalah inti dari kebiasaan ini. Sebelum kita mencoba untuk dipahami oleh orang lain, penting untuk terlebih dahulu memahami perspektif, perasaan, dan kebutuhan mereka. Dengan cara ini, kita dapat berkomunikasi lebih efektif dan membangun hubungan yang lebih dalam.
  6. Bersinergi (Synergize) Sinergi adalah hasil dari kerja sama tim yang efektif. Dengan menggabungkan kekuatan dan keterampilan yang berbeda, kita dapat menciptakan hasil yang jauh lebih besar daripada yang bisa dicapai sendirian. Ini tentang menghargai perbedaan dan bekerja sama menuju tujuan bersama.
  7. Asah Gergaji (Sharpen the Saw) Kebiasaan terakhir mengingatkan kita untuk terus memperbarui diri secara fisik, mental, sosial, dan spiritual. Seperti gergaji yang perlu diasah agar tetap tajam, manusia juga perlu meluangkan waktu untuk merawat dan mengembangkan diri agar tetap produktif dan seimbang.

Dengan menerapkan 7 Habits ini dalam kehidupan sehari-hari, seseorang bisa menjadi lebih efektif dalam mencapai tujuannya, membangun hubungan yang lebih baik, serta menjalani hidup yang lebih bermakna dan seimbang.

Notes: Artikel ini dibantu chat GPT.

Efek Outsourcing pada Income Statement Perusahaan

Outsourcing: Optimalisasi Produktivitas dengan Menggunakan Outsourcing Dilihat dari Sudut Pandang Laporan Keuangan

Strategi bisnis yang sejauh ini paling ampuh adalah fokus pada kegiatan utama. Sehingga Outsourcing merupakan solusi. Kegiatan penunjang bisa diserahkan kepada perusahaan Outsourcing.

Melihat pelaksanaan outsourcing dari sudut pandang laporan keuangan membuat kita menjadi mudah memahami apakah fokus bisnis kita saat ini sudah kepada kegiatan utama atau masih ada kegiatan penunjang yang belum kita pindahkan ke pihak yang lebih profesional untuk mengelolanya, perusahaan outsourcing.

Bagaimana melihat strategi outsourcing ini dari sudut pandang laporan keuangan perusahaan?

Pengaruh Outsourcing terhadap Income Statement

Outsourcing mengubah komponen pencatatan dalam Income Statement. Biaya tenaga kerja yang sebelumnya muncul dalam Operating Expenses kini terintegrasi ke dalam Cost of Goods Sold (COGS) atau Cost of Revenue (COR) ketika outsourcing diterapkan.

Ilustrasi Pencatatan Income Statement:

Tanpa Outsourcing:

– Pendapatan: $1,000,000
– COGS: $400,000
  – Biaya Bahan Baku: $350,000
  – Biaya lain: $50,000
Gross Profit: $600,000
Operating Expenses: $300,000
  – Biaya Tenaga Kerja (karyawan inti + non-inti): $250,000
  – Biaya Administrasi: $50,000
Net Profit: $300,000

Dengan Outsourcing:

– Pendapatan: $1,000,000
– COGS: $600,000
  – Biaya Bahan Baku: $350,000
  – Biaya lain: $50,000
  – Biaya Outsourcing (tenaga kerja non-inti): $200,000 (belum manajemen fee)
Gross Profit: $400,000
Operating Expenses: $100,000
  – Biaya Tenaga Kerja (hanya karyawan inti): $50,000
  – Biaya Administrasi: $50,000
Net Profit: $300,000

Jadi hanya pindah “post” saja? Iya, untuk jangka pendek, dan hal ini adalah indikasi apakah bisnis Anda fokus pada kegiatan utama atau belum. Pelaksanaan Outsourcing tidak memberikan direct impact penghematan biaya. Potesi yang dihasilkan jauh lebih besar. Growth.

Poin Utama:

  1. Efisiensi Biaya: Dengan outsourcing, perusahaan dapat mengalokasikan sumber daya untuk bisnis inti. Walaupun COGS meningkat karena biaya outsourcing, Operating Expenses berkurang signifikan.
  2. Fokus pada Bisnis Utama: Perusahaan dapat fokus sepenuhnya pada peningkatan revenue, tanpa terbebani oleh manajemen tenaga kerja non-inti.

Beberapa hal memang perlu menjadi pertimbangan sebelum melaksanakan kerjasama dengan perusahaan Outsourcing. Mengenai bagaimana memilih vendor outsourcing yang baik, artikelnya dapat di baca di sini.

Memutuskan untuk melaksanakan outsourcing dan bekerjasama dengan vendor yang kurang tepat tentu saja bukan menjadi solusi, melainkan menambah permasalahan dan potensi permasalahan. Perhatikan hal ini.

Agar optimalisasi terjadi, kita dapat melakukan analisa SWOT, berikut adalah analisa SWOT menerapkan strategi outsourcing.

Analisis SWOT Strategi Outsourcing:

  • Strengths (Kekuatan): Fokus pada core business, efisiensi biaya, dan manajemen SDM yang lebih ringkas.
  • Weaknesses (Kelemahan): Ketergantungan pada vendor outsourcing dan potensi komunikasi yang kurang efektif.
  • Opportunities (Peluang): Peluang ekspansi bisnis dengan biaya operasional yang lebih rendah dan akses ke teknologi atau keahlian spesifik melalui vendor outsourcing.
  • Threats (Ancaman): Fluktuasi biaya jasa outsourcing dan potensi perubahan regulasi yang mempengaruhi operasional.

Dengan melihat ilustrasi di atas, jelas bahwa strategi outsourcing membawa perubahan pada struktur laporan keuangan, khususnya Income Statement. Dan perubahan di Income Statement ini mencerminkan apakah organisasi bisnis kita sudah fokus pada kegiatan utama atau belum.

Namun, sebelum memutuskan untuk mengadopsi strategi ini, perusahaan harus memahami semua aspek, risiko, dan potensi keuntungan yang mungkin didapat.

Salah satu sumber lain yang memberikan pengetahuan mengenai outsourcing. Artikel OCBC.