Pada tanggal 31 Oktober 2019 lalu, Tetra Pak Indonesia memaparkan penelitiannya dalam acara yang berjudul “The Convergence of Health & Environment” di Grand Ballroom Hotel AYANA Midplaza, Jakarta. Riset atau penelitian yang dipaparkan adalah mengenai Tetra Pak Index 2019. Salah satunya, menunjukkan adanya relevansi yang kuat antara kesehatan konsumen dan kesehatan lingkungan.
Tetra Pak Index 2019 Tunjukkan Relevansi Kuat antara Kesehatan Konsumen dan Lingkungan.
sumber: Kompas.com
Perusahaan spesialis pemrosesan dan pengemasan makanan serta minuman, Tetra Pak Indonesia kembali merilis laporan survei tahunan bertajuk Tetra Pak Index 2019. Survei ini dilakukan di lima negara sekaligus, di antaranya adalah Amerika Serikat, Inggris, Arab Saudi, Brazil, dan Indonesia. Berkolaborasi dengan Ipsos, riset ini mengambil 1.000 responden dari masing-masing negara.
Di Indonesia sendiri, mayoritas responden berasal dari kawasan padat penduduk, khususnya di wilayah Jawa. Secara garis besar, survei ini menunjukkan bahwa saat ini konsumen telah memahami bahwa kesehatan pribadi dan kesehatan lingkungan memiliki keterkaitan satu sama lain.
Pemaparan riset Tetra Pak Index 2019 ini berlangsung di talkshow bertajuk “The Convergence of Health & Environment” yang dihelat pada Kamis (31/10/2019), di Grand Balroom Hotel AYANA Midplaza, Jakarta.
Beberapa pembicara yang hadir di acara ini di antaranya adalah Communication Manager Tetra Pak Malaysia, Singapore, Philippines, Indonesia – Gabrielle Angriani; Managing Director Ipsos Indonesia – Soeprapto Tan; dan Co-Founder Burgreens Organic Eatery dan Home Delivery – Helga Angelina Tjahyadi.
Adapun salah satu temuan menarik yang ada di survei ini antara lain adalah 82 persen konsumen Indonesia setuju bahwa kerusakan lingkungan dapat tertangani jika mampu mengubah kebiasaan yang ada saat ini. Kemudian lebih dari 80 persen konsumen setuju akan pentingnya gaya hidup sehat dan hidup dengan dampak yang minimal.
Sumber: Kompas.com
Senada dengan survei tersebut, Gabrielle Angriani pun memaparkan bahwa lebih dari 80 persen konsumen Indonesia memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan dan kesehatan.
“Di Indonesia, terdapat lima karakteristik makanan dan minuman yang dapat menjawab kebutuhan kesehatan konsumen, di antaranya dalah bahan-bahan alami, tanpa bahan pengawet, organik, kemasan yang dapat di daur ulang, dan kemasan yang dapat digunakan atau diisi kembali,” paparnya.
Meski memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, faktanya hanya 42 persen konsumen Indonesia yang mendaur ulang produk yang telah dipakai. Kemudian hanya 45 persen konsumen Indonesia yang berkeinginan untuk mengurangi pembelian dan pemakaian plastik.
“Karenanya, selama 15 tahun terakhir ini kita tidak henti-hentinya mengedukasi masyarakat, mulai dari sekolah-sekolah hingga ke retail agar terbiasa untuk melakukan segregasi (pemilahan sampah),” tambahnya.
Soeprapto Tan sendiri memaparkan bahwa jumlah penduduknya yang besar adalah salah satu alasan terpilihnya Indonesia menjadi salah satu negara kunci. Selain itu “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjadi karakteristik unik budaya pun menjadi alasan pendukung lainnya.
“Secara aspek kesehatan, Indonesia menempati satu dari lima negara penderita diabetes tertinggi. Sedangkan secara lingkungan, permasalahan sampah plastik juga telah menjadi sorotan internasional,” ujarnya.
Sedangkan di tempat terpisah, Managing Director Tetra Pak Malaysia, Singapore, Philippines, Indonesia – Michael Wu mengatakan bahwa laporan Tetra Pak Index 2019 ini menunjukkan industri makanan dan minuman adalah salah satu industri pertama yang melihat adanya konvergensi antara kesehatan dengan lingkungan.
“Hal ini memberikan peluang baru bagi industri makanan dan minuman untuk menciptakan hubungan personal dengan konsumen, serta mengatasi kedua hal ini secara bersamaan,” ujarnya.
Dirinya pun menambahkan bahwa peluncuran Tetra Pak Index 2019 ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pelaku industri makanan dan minuman di Indonesia, sehingga dapat memenangkan tren konvergensi kesehatan dan lingkungan di masa depan.
Sumber: Kompas.com
Tetra Pax Index 2019 pun menekankan peran penting aspek kemasan di setiap aktivitas konsumsi masyarakat. Pemilihan kemasan sebaiknya memerhatikan pemanfaatan sumber daya alam secara bertanggung jawab dan memastikan proses daur ulang pasca konsumsi dilakukan secara tepat.
Agustus silam pun Tetra Pak Indonesia meluncurkan laporan berkelanjutan dengan beberapa pencapaian daur ulang di tahun 2018. Hal ini diwujudkan dengan menambah nilai investasi untuk peningkatan kapasitas hingga 1.500 ton per bulan, mencapai tingkat daur ulang sebesar 21,2 persen (10.338 ton), serta meningkatkan fasilitas pemilahan mitra pengumpul.
Tahun ini, Tetra Pak Indonesia pun telah menambah mitra pengumpul baru yang bertanggung jawab untuk wilayah Bali, Jawa timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jabodetabek demi mencapai kenaikan 22,5 persen dalam tingkat daur ulang. Hal ini dilakukan guna menjawa tantangan ekosistem daur ulang di Indonesia, terutama pengelolaan sampah karton kemasan minuman. Simak laporan lengkap Tetra Pak Index 2019 dengan mengunjungi halaman ini.
Siapa yang tidak kenal Intel? Perusahaan teknologi yang produknya, mungkin saja, sedang berada dalam perangkat Anda saat ini. Di balik sukses besar Intel, ada sosok inspiratif bernama Andrew Stephen Grove, atau lebih dikenal sebagai Andy Grove. Ia bukan sekadar CEO biasa, melainkan pemimpin dengan prinsip kuat yang mampu membawa Intel menuju kesuksesan besar.
Andy Grove lahir dengan nama Andrew Stephen Grove dan dikenal karena kemampuannya untuk selalu bangkit dari berbagai tantangan. Ia tidak hanya berhasil memimpin Intel menuju kesuksesan, tetapi juga mengajarkan pentingnya menghadapi perubahan secara proaktif.
Salah satu kalimat inspiratif yang sering dikutip dari Andy Grove adalah: “Only the Paranoid Survive”—artinya hanya mereka yang waspada dan adaptif yang mampu bertahan dan sukses. Grove percaya bahwa perubahan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari dunia bisnis, seperti kalimatnya yang terkenal: “Sooner or later, something fundamental in your business world will change.” Menurutnya, bisnis yang mampu bertahan adalah bisnis yang siap menghadapi perubahan besar secara cepat dan tepat.
Kalimat ini terbukti nyata dalam perjalanan Intel di tahun 1980-an. Saat itu, Intel menghadapi tekanan besar dalam bisnis chip memori, yang sebelumnya menjadi produk unggulan mereka. Grove membuat keputusan berani untuk sepenuhnya beralih fokus ke bisnis prosesor mikro. Keputusan yang awalnya tampak berisiko besar ini ternyata membawa Intel menuju kesuksesan besar hingga saat ini.
Selain ketegasan dalam mengambil keputusan, Andy Grove juga dikenal sangat transparan dan selalu mendorong komunikasi terbuka dalam timnya. Ia membangun lingkungan kerja yang saling percaya, terbuka, dan selalu mendorong inovasi.
Warisan Andy Grove bukan hanya soal produk-produk teknologi, tetapi juga pelajaran berharga tentang keberanian menghadapi perubahan, ketegasan mengambil keputusan, serta pentingnya komunikasi yang jujur dalam memimpin sebuah tim.
Referensi:
Grove, A. S. (1996). Only the Paranoid Survive. New York: Doubleday.
Ah, outsourcing, formula magis yang konon mampu menjawab semua tantangan bisnis modern. Mau tenaga kerja murah? Bisa. Mau fleksibilitas tanpa beban tanggung jawab? Sangat mungkin. Tapi, di balik semua keajaiban itu, mari kita bicara tentang realitas: beberapa perusahaan outsourcing yang tidak comply dengan undang-undang dan pemberi kerja yang memandang manusia sekadar komoditas. Bukankah ini model bisnis yang sangat “inspiratif”?
“Comply” Itu Pilihan, Bukan Kewajiban?
Bagi sebagian perusahaan outsourcing, aturan tenaga kerja sering kali hanya sekadar hiasan di presentasi tahunan. Siapa peduli tentang jaminan sosial, upah layak, atau kontrak kerja yang manusiawi? Bukankah jauh lebih efisien untuk melihat karyawan sebagai angka di lembar Excel ketimbang manusia dengan kebutuhan dan keluarga?
Dan mari kita bicara tentang undang-undang. Ada begitu banyak regulasi yang bertujuan melindungi pekerja, tapi beberapa perusahaan outsourcing sepertinya punya definisi baru tentang kepatuhan. “Kami patuh… kalau ada audit,” mungkin begitu motto mereka. Lagi pula, siapa yang akan tahu jika gaji sedikit dipotong atau jam kerja diperpanjang tanpa kompensasi? Asal tidak viral di media sosial, semuanya baik-baik saja, bukan?
Transaksi Tanpa Empati
Lalu ada pemberi kerja yang ingin semua serba instan. “Saya bayar, jadi saya tidak peduli.” Sikap ini sangat efisien, bukan? Mengapa repot-repot memikirkan dampak jangka panjang pada karyawan outsourcing ketika fokusnya hanya pada produktivitas saat ini? Lagi pula, kalau ada yang tidak puas, tinggal ganti. Tenaga kerja murah itu melimpah, bukan?
Ketika karyawan outsourcing mengeluh tentang kondisi kerja yang tidak layak, sering kali mereka hanya mendapat respons dingin: “Kalau tidak suka, pintu keluar ada di sana.” Betapa transaksionalnya hubungan ini! Seolah-olah tenaga kerja adalah barang yang bisa dibeli, dipakai, dan dibuang begitu saja.
Ketika Kesejahteraan Jadi Lelucon
Kesejahteraan? Ah, istilah itu tampaknya hanya cocok untuk kampanye CSR, bukan praktik sehari-hari. Beberapa perusahaan outsourcing bahkan merasa memberikan gaji minimum sudah cukup. Jaminan kesehatan? Asuransi? Itu semua dianggap “opsional.” Kalau pekerja sakit, ya urus sendiri. Bukankah kita sedang hidup di zaman individualisme?
Dan bagaimana dengan pelatihan atau pengembangan keterampilan? Jangan bercanda. Investasi pada manusia dianggap sebagai pemborosan. Mengapa melatih orang kalau mereka bisa digantikan dengan yang baru? Dalam logika ini, manusia tidak lebih dari komponen yang mudah diganti.
Siapa yang Salah?
Pada akhirnya, semua pihak terlibat dalam siklus ini: perusahaan outsourcing yang tidak comply, pemberi kerja yang hanya peduli pada hasil, dan sistem yang terlalu lemah untuk menegakkan aturan. Sementara itu, pekerja outsourcing dibiarkan bertahan di bawah bayang-bayang ketidakpastian, mencoba menyambung hidup dengan segala keterbatasan.
Mari Kita Renungkan
Outsourcing seharusnya menjadi solusi yang saling menguntungkan. Tapi ketika manusia hanya dilihat sebagai angka, dan aturan hanya dianggap formalitas, kita kehilangan esensi dari apa artinya menjadi manusia. Bukankah sudah saatnya kita berhenti berpikir transaksional dan mulai melihat tenaga kerja sebagai investasi, bukan beban?
Jadi, untuk perusahaan outsourcing yang tidak comply dan pemberi kerja yang hanya peduli pada margin, ini saatnya Anda bertanya pada diri sendiri: Apa artinya menjadi manusia? Karena pada akhirnya, ini bukan hanya tentang efisiensi atau keuntungan, tapi tentang martabat dan kemanusiaan.
Catatan Penutup
Artikel ini ditujukan untuk mengkritisi praktik outsourcing yang tidak manusiawi dan mengingatkan bahwa di balik angka-angka itu ada kehidupan yang perlu dihormati. Semoga kita bisa merenung dan memperbaiki.
Minggu pagi, 24 November 2024, suasana terasa berbeda di layar-layar Zoom yang menyala di rumah para karyawan PT Human Capital Global. Hari itu, sebuah bincang sehat dengan tema yang hangat dan relevan, “Kesehatan Mental: Cara Menghadapinya”, diadakan. Acara ini bukan sekadar diskusi biasa, melainkan sebuah wujud nyata kepedulian perusahaan terhadap kesejahteraan jiwa para karyawannya.
Berkat kolaborasi apik antara RS Mitra Keluarga Surabaya, Asuransi Sinarmas, dan PT Human Capital Global, bincang sehat ini hadir untuk menjangkau sisi yang sering kali terabaikan—kesehatan mental. Di tengah dunia kerja yang menuntut produktivitas tinggi, PT Human Capital Global menyadari pentingnya keseimbangan. “Karyawan bukan hanya sumber daya, mereka adalah manusia dengan jiwa yang perlu diperhatikan,” ujar salah satu perwakilan perusahaan.
Pembuka yang Menginspirasi
Acara ini dibuka oleh Francesca Tjubandrio, seorang psikolog dengan pengalaman panjang dalam menangani isu kesehatan mental. Dengan senyum hangatnya, Francesca memulai diskusi dengan pernyataan sederhana namun mendalam: “Ada semangat khusus saat kita mau belajar lagi.”
Pernyataannya seolah menyapa setiap peserta dengan pesan optimisme. Belajar, kata Francesca, tidak pernah mengenal ruang dan waktu. Melalui bincang sehat ini, para karyawan diajak untuk memahami bahwa kesehatan mental tidaklah statis. Itu adalah sesuatu yang dapat ditingkatkan, dirawat, dan diselaraskan dengan kebutuhan hidup.
Menyentuh Aspek Personal dan Profesional
Dalam penjelasannya, Francesca membongkar mitos bahwa kesehatan mental hanyalah bawaan sejak lahir. Ia menjelaskan bahwa kesehatan mental adalah hasil dari upaya—dapat diperbaiki dan diseimbangkan agar mendukung produktivitas kerja dan kehidupan pribadi.
Salah satu bagian menarik dari diskusi adalah ketika Francesca mengaitkan body emotion dengan kondisi psikologis seseorang. Misalnya:
Nyeri di pundak sering kali menandakan tekanan tanggung jawab pekerjaan.
Sakit punggung bawah bisa jadi sinyal kurangnya dukungan emosional dari orang terdekat.
Nyeri di telapak kaki menunjukkan adanya ketakutan untuk melangkah ke sesuatu yang baru.
Francesca juga menegaskan bahwa semakin besar dampak positif seseorang terhadap orang lain, semakin besar kebahagiaan yang dirasakan.
Menyentuh Kehidupan Sehari-hari
Bincang sehat ini tidak hanya memaparkan teori, tetapi juga memberikan panduan praktis. Peserta diajak untuk mengenali tanda-tanda stres, kecemasan, hingga depresi. Francesca menjelaskan bagaimana kondisi mental yang buruk dapat memengaruhi fisik melalui peningkatan hormon stres, kortisol, yang pada akhirnya menyerang kesehatan tubuh.
“Ketika kita tidak peduli dengan kesehatan mental, tubuh kita akan memprotes,” ungkap Francesca dengan lugas.
Sinergi Positif untuk Masa Depan
Acara ini menjadi lebih dari sekadar diskusi—ini adalah langkah nyata untuk menciptakan sinergi positif dalam diri setiap karyawan. PT Human Capital Global percaya bahwa karyawan yang sehat secara mental akan mampu memberikan yang terbaik, baik untuk dirinya sendiri maupun perusahaan. Ini adalah investasi jangka panjang yang berfokus pada manusia sebagai pusat keberlanjutan perusahaan.
Harapan ke Depan
Melalui acara ini, PT Human Capital Global, bersama dengan mitra-mitranya, telah menunjukkan komitmen nyata untuk mendukung karyawannya secara holistik. Tidak hanya dari sisi produktivitas, tetapi juga dari sisi kesejahteraan mental.
Bincang sehat ini bukanlah akhir, melainkan awal dari upaya bersama untuk menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas. Karena seperti yang dikatakan Francesca, “Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental.”
Dengan semangat itu, perjalanan menuju keseimbangan hidup yang lebih baik dimulai, satu langkah, satu diskusi, dan satu kesadaran dalam setiap jiwa yang hadir di pagi itu.
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah mencapai tahap di mana teknologi ini mampu menghasilkan konten secara otomatis, termasuk podcast yang dihasilkan berdasarkan informasi dari situs web. Salah satu platform yang memungkinkan hal ini adalah NotebookLM dari Google, yang dirancang untuk membantu pengguna memahami dan menjelajahi materi kompleks dengan lebih efisien.
Sebagai contoh, AI melalui NotebookLM dapat menganalisis konten dari situs web kami, hcg.co.id, dan mengubahnya menjadi podcast otomatis yang informatif dan menarik.
Bagaimana AI Membuat Podcast Kami?
Berdasarkan informasi dari sumber resmi Google, berikut adalah langkah-langkah utama bagaimana AI melalui NotebookLM menghasilkan podcast otomatis:
Menganalisis Informasi NotebookLM membaca dan memahami konten dari situs web yang diberikan, termasuk teks, gambar, dan elemen lain yang relevan. Dengan menggunakan model bahasa besar (Large Language Model), AI dapat mengidentifikasi topik utama dan informasi penting dari sumber tersebut.
Menyusun Narasi yang Terstruktur Setelah menganalisis konten, AI menyusun narasi yang logis dan kohesif. NotebookLM dapat menghasilkan ringkasan, menjelaskan ide kompleks, dan bahkan menghubungkan informasi dari berbagai sumber untuk menciptakan narasi yang menarik.
Mengolah Suara Otomatis Dengan integrasi teknologi text-to-speech (TTS), AI mengubah teks yang telah disusun menjadi audio dengan intonasi dan ritme yang alami. Hal ini memungkinkan pembuatan podcast yang terdengar profesional tanpa memerlukan rekaman suara manusia.
Dengan memanfaatkan teknologi ini, kami dapat menyajikan informasi dari situs web kami dalam format podcast yang mudah diakses oleh audiens yang lebih luas.
Dengarkan Podcast Kami!
Sebagai bukti nyata kehebatan teknologi ini, kami sertakan file MP3 dari podcast yang dibuat AI berdasarkan informasi di situs web kami. Anda dapat mendengarkannya untuk memahami lebih jauh bagaimana teknologi ini bekerja. Berikut adalah transkrip lengkap dari podcast tersebut:
All right, welcome to another deep dive. This time, we’re going international and diving into the world of PT Human Capital Global, HCG for short. They’re an Indonesian outsourcing company, and we’ve got their website, blog posts, even some industry reports ready to be explored. You know, it’s everywhere these days. It’s like imagine you’re amazing at baking cakes, but you can’t handle the business side of things, all those invoices and receipts. So you hire an accountant to take care of that. My friend, is outsourcing in a nutshell. You’re getting an expert on board for a specific task. And HCG, they’re doing that, but on a much bigger scale. They’re connecting Indonesian businesses with the talent they need to thrive. And speaking of talent, ever heard of job supply and labor supply? It’s a bit of industry jargon, but we’ll get to that. For now, let’s get to know HCG a little better.
Keuntungan Menggunakan Teknologi AI
Sebagai perusahaan yang terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi, kami melihat berbagai manfaat dari penggunaan AI dalam pembuatan konten:
Efisiensi Waktu dan Biaya Pembuatan podcast oleh AI dapat dilakukan dengan cepat tanpa mengorbankan kualitas, sehingga menghemat waktu dan biaya produksi.
Konsistensi Informasi Karena didasarkan pada konten yang ada di situs web kami, informasi yang disampaikan selalu akurat dan konsisten.
Aksesibilitas yang Lebih Baik Dengan format podcast, informasi kami dapat diakses oleh audiens yang lebih luas, termasuk mereka yang lebih memilih format audio.
Penutup
Kami senang dapat memanfaatkan teknologi canggih seperti NotebookLM untuk menyajikan layanan kami dengan cara yang inovatif. Teknologi ini membuka peluang baru dalam menyampaikan informasi secara efektif dan menarik. Kami berharap, dengan adanya podcast ini, Anda dapat lebih memahami nilai-nilai dan layanan yang kami tawarkan.
Kami mengajak Anda untuk mendengarkan file MP3 podcast yang kami sertakan di bawah ini. Semoga Anda menikmati dan mendapatkan wawasan baru dari konten yang disajikan.
Dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif, pengukuran kinerja vendor outsourcing menjadi aspek penting bagi pengambil keputusan. Namun, seringkali penilaian ini terjebak pada kesan semu atau gimmick yang tidak mencerminkan kinerja sebenarnya.
Saya teringat diskusi dengan seorang rekan yang menggunakan jasa outsourcing. Ia mengeluhkan vendor yang selalu tampil memukau saat presentasi, penuh janji dan klaim sukses, namun kenyataannya performa mereka jauh dari harapan. Dia merasa bahwa keputusan berdasarkan kesan awal sering kali berujung pada kekecewaan karena hasilnya tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa penting untuk memiliki pendekatan yang lebih sistematis dan berbasis data dalam menilai kinerja vendor outsourcing. Jadi, bagaimana kita bisa melakukannya dengan lebih objektif?
Berikut adalah beberapa strategi yang bisa membantu:
1. Fokus pada Data Kinerja Nyata
Langkah pertama adalah memastikan penilaian vendor didasarkan pada data yang konkret. Indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicators atau KPI) harus jelas sejak awal kerjasama. Misalnya, jika bekerja sama dengan vendor outsourcing di bidang tenaga kerja, KPI seperti kepuasan pelanggan, ketepatan pembayaran gaji, dan penyelesaian masalah di lapangan adalah contoh metrik yang dapat diukur secara objektif.
2. Hindari Kesimpulan Cepat Berdasarkan Kesan Awal
Vendor yang tampak meyakinkan di awal mungkin tidak selalu dapat mempertahankan konsistensi performa. Penilaian yang hanya didasarkan pada presentasi atau kesan awal sering kali bias. Laporan rutin berbasis data yang terukur lebih dapat diandalkan untuk mengevaluasi hasil sebenarnya, daripada hanya terpengaruh oleh pencapaian sesaat yang menarik perhatian.
3. Manfaatkan Pengalaman Pribadi Sebagai Pertimbangan
Pengalaman pribadi dalam bekerja dengan vendor outsourcing dapat menjadi bahan evaluasi yang tak ternilai. Dalam pengalaman saya mengelola PT HCG, saya belajar bahwa pendekatan berbasis hubungan jangka panjang dan transparansi dalam pelaporan kinerja sangat membantu. Dengan cara ini, klien kami bisa memahami nilai sebenarnya dari layanan yang kami tawarkan. Pengukuran yang konsisten dan komunikasi yang terbuka menjadi landasan keberhasilan.
4. Bandingkan Kinerja Vendor dengan Standar Pasar
Penilaian vendor outsourcing tidak bisa dilakukan dalam ruang hampa. Bandingkan kinerja vendor dengan standar pasar atau vendor sejenis dalam industri yang sama. Perbandingan ini akan memberikan perspektif yang lebih jelas tentang seberapa kompetitif dan profesional vendor tersebut dalam memenuhi harapan klien.
5. Prioritaskan Hasil Nyata di Lapangan
Janji tanpa bukti bukanlah ukuran kinerja yang baik. Vendor yang handal harus mampu memenuhi kontrak dan memberikan hasil nyata yang dapat dirasakan langsung di lapangan. Efisiensi operasional dan pertumbuhan bisnis klien yang didukung oleh layanan vendor harus menjadi ukuran utama keberhasilan.
Dengan pendekatan ini, pengambil keputusan di berbagai level dapat menilai kinerja vendor outsourcing secara lebih objektif, menghindari jebakan gimmick atau kesan awal yang menyesatkan, dan fokus pada data serta hasil nyata yang mendukung pertumbuhan bisnis.
Dalam dunia kerja yang serba cepat, kita sering kali terjebak dalam arus tugas-tugas yang mendesak. Ada panggilan telepon yang harus dijawab, email yang harus dibalas, dan meeting yang harus dihadiri. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, apakah kita benar-benar meluangkan waktu untuk hal-hal yang benar-benar penting?
Stephen Covey, dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People, mengajarkan kepada kita pentingnya prinsip “First Things First.” Prinsip ini menekankan bahwa kita harus mengutamakan apa yang penting dalam hidup, bahkan jika itu tidak mendesak. Covey mengelompokkan aktivitas kita ke dalam empat kuadran:
Penting dan Mendesak: Krisis dan masalah mendesak yang perlu diselesaikan segera.
Penting tapi Tidak Mendesak: Aktivitas yang berkontribusi pada tujuan jangka panjang dan pengembangan pribadi.
Tidak Penting tapi Mendesak: Gangguan dan interupsi yang sering kali datang dari luar.
Tidak Penting dan Tidak Mendesak: Aktivitas yang membuang waktu dan tidak memberikan nilai tambah.
Sayangnya, banyak dari kita yang terjebak di kuadran ketiga, menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tampak mendesak namun sebenarnya tidak penting. Akibatnya, hal-hal yang penting tapi tidak mendesak—seperti perencanaan strategis, pengembangan keterampilan, dan membangun hubungan yang bermakna—terabaikan.
Terkadang, kita merasa bahwa menyelesaikan hal-hal mendesak memberikan kepuasan instan—perasaan bahwa kita produktif. Namun, produktivitas tidak selalu berarti efektivitas. Menyelesaikan banyak tugas kecil mungkin membuat kita merasa sibuk, tapi apakah itu membawa kita lebih dekat pada tujuan utama kita?
Bagaimana Memprioritaskan yang Penting?
Evaluasi Aktivitas Anda: Luangkan waktu untuk memetakan aktivitas harian Anda ke dalam empat kuadran Covey. Ini akan membantu Anda mengenali di mana Anda menghabiskan sebagian besar waktu dan energi Anda.
Buat Rencana: Prioritaskan aktivitas di kuadran kedua. Mulailah dengan membuat rencana harian atau mingguan yang memasukkan aktivitas penting namun tidak mendesak.
Belajar untuk Mengatakan “Tidak”: Tidak semua hal mendesak harus segera ditangani. Belajarlah untuk mengatakan “tidak” pada gangguan yang tidak penting, dan fokuskan energi Anda pada apa yang benar-benar penting.
Penutup
Mengutamakan hal yang penting di atas hal yang mendesak tidak hanya akan membuat Anda lebih efektif, tetapi juga lebih puas dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi Anda. Dengan menerapkan prinsip “First Things First,” Anda tidak hanya akan menjadi lebih produktif, tetapi juga lebih proaktif dalam mencapai tujuan jangka panjang.
Semoga artikel ini menjadi sebuah “refresh” positif bagi Anda, mengingatkan kita semua untuk selalu fokus pada apa yang benar-benar penting, dan bukan sekadar mendesak.
Referensi
Stephen Covey, The 7 Habits of Highly Effective People (1989): Buku ini memperkenalkan konsep “First Things First” yang menekankan pentingnya memprioritaskan hal-hal yang penting daripada yang mendesak. Habit ketiga dari Covey ini adalah dasar dari Covey’s Time Management Matrix yang digunakan untuk membagi tugas-tugas berdasarkan urgensi dan kepentingannya.
Quidlo Blog: “Stephen Covey’s Time Management Matrix – 4 Quadrants”: Artikel ini memberikan penjelasan detail tentang empat kuadran dari Covey’s Time Management Matrix, dan bagaimana menerapkannya untuk meningkatkan produktivitas dan keseimbangan kerja-hidup. Sumber.
Mapien Blog: “Get Priorities Straight With Covey’s Time Management Matrix”: Blog ini membahas pentingnya memprioritaskan tugas yang penting dan bagaimana Covey’s Time Management Matrix bisa membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih baik. Sumber(Mapien).
In today’s global market, many companies face stiff competition and must be creative to remain profitable. One practice that helps companies save on production costs is outsourcing, which involves contracting out some of a company’s business functions to third-party vendors or service providers.
Labor supply is one of the practices that fall under outsourcing. Labor supply involves hiring employees from a third-party vendor or service provider rather than directly hiring them as part of the company’s workforce. This means that a company can contract out some of its mundane or non-core business functions, such as data entry or customer service, to a third-party labor provider, who then hires and manages employees to carry out the tasks.
The differences between outsourcing and labor supply
Outsourcing typically involves hiring a third-party vendor to provide a range of services, while labor supply specifically refers to the practice of contracting out employees from a third-party labor provider. (Amusan, L. et al., 2022)
Labor supply can be considered a subcategory of outsourcing, as it specifically involves the hiring of labor rather than outsourcing a broader range of business functions. (Guerrón-Quintana, P. and Jinnai, R., 2019)
However, outsourcing can also include the contracting out of specialized services such as IT or accounting. In any case, outsourcing and labor supply are both strategies that allow companies to save on production costs while maintaining focus on their core competencies. Labor supply can be a particularly effective outsourcing practice in situations where companies need to quickly scale up or down their workforce, as third-party labor providers can provide flexibility in terms of the number of employees they can hire or lay off based on a client company’s needs.
Which one is more beneficial for the organization
Whether outsourcing or labor supply is more beneficial for an organization depends on various factors such as the size of the company, the nature of its operations, and the company’s specific goals and objectives. Ultimately, it is up to each organization to carefully evaluate its needs and consider the costs and benefits of outsourcing (Suklan, J., Kavčič, K. and Milost, F., 2016)versus labor supply to determine which strategy will be most effective for achieving its desired outcomes.
The strengths and weakness of outsourcing
The strengths of outsourcing are numerous, including the ability to reduce costs, access specialized expertise and technology, improve efficiencies and productivity, and ultimately enhance competitiveness.
One of the main weaknesses of outsourcing, however, is that it can be difficult to maintain quality control and ensure consistent standards when dealing with third-party vendors.
The strengths and weaknesses of labor supply
The strengths of labor supply include the ability to quickly and easily scale up or down a company’s workforce based on changing needs, as well as the flexibility to negotiate contracts with third-party labor providers. However, one of the main weaknesses is a lack of control over employee training and development, as well as potential issues around worker engagement and loyalty when there is a lack of direct employment relationship between workers and the client company.
Analysis steps before deciding on outsourcing or labor supply
Before deciding whether to pursue outsourcing or labor supply as a strategy, companies need to conduct a careful analysis of their operations and evaluate factors such as the level of demand for their products or services, the availability of skilled labor in their industry and geographic location, as well as cost considerations such as taxes and wages. It is important to also consider potential risks and challenges associated with each approach, such as legal and regulatory issues, language barriers in offshore outsourcing, and communication challenges when coordinating with third-party labor suppliers in a global supply chain.
Summary
In summary, labor supply is a form of outsourcing that can provide significant advantages for companies in terms of flexibility and cost savings.
However, it is crucial for organizations to carefully consider the potential strengths and weaknesses of both outsourcing and labor supply before implementing a specific strategy. It is recommended that companies conduct a thorough analysis of their business needs and thoroughly research potential vendors before engaging in outsourcing or labor supply.
References
Amusan, L. et al. (2022) “Re-strengthening the Adoption of Outsourcing Concept in Construction Firms: Issues and Challenges,” Iop Conference Series Earth and Environmental Science, 1054(1),p. 012044. Available at: https://doi.org/10.1088/1755-1315/1054/1/012044.
Guerrón-Quintana, P. and Jinnai, R. (2019) “Financial frictions, trends, and the great recession,” Quantitative Economics, 10(2),p. 735-773. Available at: https://doi.org/10.3982/qe702.
Suklan, J., Kavčič, K. and Milost, F. (2016) “Outsourcing Logistics Activities: Evidence from Slovenia,” Promet – Traffic&transportation, 28(6),p. 575-581. Available at: https://doi.org/10.7307/ptt.v28i6.2042.
Danzer, A., Feuerbaum, C. and Gaessler, F. (2020) “Labor Supply and Automation Innovation,” SSRN Journal, 20(09),p. 68. Available at: https://doi.org/10.2139/ssrn.3642594.
Stephen Covey, dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People, memperkenalkan konsep yang kuat untuk pengembangan diri dan efektivitas dalam menjalani kehidupan pribadi maupun profesional. Kebiasaan-kebiasaan ini mengajarkan prinsip-prinsip mendasar yang dapat membantu seseorang mencapai keseimbangan, produktivitas, dan kepuasan hidup. Berikut adalah rangkuman singkat dari 7 kebiasaan tersebut:
Bersikap Proaktif (Be Proactive) Kebiasaan pertama mengajarkan pentingnya tanggung jawab pribadi. Orang yang proaktif fokus pada hal-hal yang bisa mereka kendalikan, dan tidak membuang waktu atau energi pada situasi yang berada di luar kendali. Dengan menjadi proaktif, kita dapat membuat keputusan dengan penuh kesadaran daripada bereaksi secara impulsif terhadap situasi.
Mulai dengan Akhir dalam Pikiran (Begin with the End in Mind) Covey mengajarkan bahwa efektivitas dimulai dengan visi yang jelas tentang tujuan hidup kita. Dengan memahami apa yang ingin kita capai, kita bisa merencanakan langkah-langkah untuk mencapainya dan memastikan setiap tindakan selaras dengan visi jangka panjang kita.
Dahulukan yang Utama (Put First Things First) Penting untuk menetapkan prioritas berdasarkan pentingnya, bukan mendahulukan hal-hal yang sekadar mendesak. Habit ini menekankan pentingnya manajemen waktu yang baik dengan memastikan bahwa kegiatan yang membawa dampak besar pada tujuan jangka panjang kita selalu menjadi prioritas.
Berpikir Menang-Menang (Think Win-Win) Dalam hubungan profesional dan pribadi, Covey mendorong pendekatan “menang-menang” di mana kedua pihak memperoleh keuntungan. Berpikir menang-menang berarti mencari solusi yang bermanfaat untuk semua pihak yang terlibat, alih-alih melihat interaksi sebagai kompetisi.
Pahami Dahulu, Baru Dipahami (Seek First to Understand, Then to Be Understood) Mendengarkan dengan empati adalah inti dari kebiasaan ini. Sebelum kita mencoba untuk dipahami oleh orang lain, penting untuk terlebih dahulu memahami perspektif, perasaan, dan kebutuhan mereka. Dengan cara ini, kita dapat berkomunikasi lebih efektif dan membangun hubungan yang lebih dalam.
Bersinergi (Synergize) Sinergi adalah hasil dari kerja sama tim yang efektif. Dengan menggabungkan kekuatan dan keterampilan yang berbeda, kita dapat menciptakan hasil yang jauh lebih besar daripada yang bisa dicapai sendirian. Ini tentang menghargai perbedaan dan bekerja sama menuju tujuan bersama.
Asah Gergaji (Sharpen the Saw) Kebiasaan terakhir mengingatkan kita untuk terus memperbarui diri secara fisik, mental, sosial, dan spiritual. Seperti gergaji yang perlu diasah agar tetap tajam, manusia juga perlu meluangkan waktu untuk merawat dan mengembangkan diri agar tetap produktif dan seimbang.
Dengan menerapkan 7 Habits ini dalam kehidupan sehari-hari, seseorang bisa menjadi lebih efektif dalam mencapai tujuannya, membangun hubungan yang lebih baik, serta menjalani hidup yang lebih bermakna dan seimbang.
Liputan Kegiatan Book Launch & Social Gathering. Surabaya, 13 Juli 2024—Kabar baik datang dari salah satu pemerhati dan pelaku outsourcing yang telah meluncurkan buku keduanya bertajuk, How & Why: Pelaksanaan Outsourcing sebagai Strategi untuk Mendukung Pertumbuhan Bisnis. JD Darmawan Ardi Priyonggo menyelesaikan karyanya ini sebagai bentuk kontribusi atas segala pertanyaan dan pengalamannya berkecimpung belasan tahun di dunia outsourcing.
Bertempat di Botanika Resto, launching kali ini dihadiri oleh sederet undangan dari berbagai latar belakang. Mulai dari Hasan Mangale (Kepala Bidang Hubungan Industrial & Jamsos Disnakertrans Jawa Timur), Endi Alim Abdi Nusa (Kepala Biro PBJ Bappeda Provinsi Jawa Timur), Indria Ratna Hapsari (Head of HR Country Services Indonesia & Singapore – Tetra Pak), Wing Antariksa (Chief Human Resources Officer PT Blue Bird Tbk), Sandra Kosasih (Advisor – Sinar Mas Land), Urbanus Nangoy (Vice President at Karyamas Plantation), Bambang Yapri (Human Capital Director PT Bina Karya Prima), Adam Armansyah (Senior Principal – Korn Ferry), Didik Prasetiyono (Presdir PT SIER), David MinG (Direktur Penerbit Litera Mediatama), dan beberapa kerabat serta kolega lainnya.
Dokumentasi. Penulis Bersama Bambang Yapri, Wing Antariksa, Urbanus Nangoy, Adam Armansyah, Sandra Kosasih, Indria Ratna Hapsari
Momen launching ditandai dengan penyerahan buku kepada sang ibunda tercinta dan disambung dengan talkshow yang menjadi inti acara. Dipandu oleh Arif Pribadi (RRI), diskusi mengalir santai mengupas hal-hal menarik dan patut digarisbawahi dari buku ini. Tampak audiens antusias sambil turut menyimak buku yang sebelumnya telah dibagikan.
Dokumentasi. Penulis bersama David MinG, dan Arif Pribadi.
Lebih lanjut, Endi memberikan apresiasi terhadap terbitnya karya literasi ini karena mampu membangun bangsa.
“Harapan saya buku ini bisa menjadi alat para decision maker perusahaan untuk membuat keputusan yang tepat dan terukur sebelum memutuskan menggunakan outsourcing. Saya sudah menyederhanakannya dalam sebuah score card yang nantinya bisa diisi dan ditimbang mana yang bobotnya terbanyak,” ujar JD Darmawan yang akrab disapa Denny ini.
Apa yang disampaikan oleh Denny mendapatkan tanggapan yang menarik dari para hadirin, terlebih mereka yang hadir juga erat kaitannya dengan bidang ini.
“Sangat setuju apa yang disampaikan Pak Denny dalam buku ini. Saya pikir justru pemerintah yang seharusnya menghadirkan edukasi ini. Karena fakta di lapangan banyak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan praktik ini. Artinya buku ini telah membantu pemerintah mensosialisasikan praktik yang benar dari outsourcing,” ujar Hasan Mangale (Kepala Bidang Hubungan Industrial & Jamsos Disnakertrans Jawa Timur).
Dokumentasi. Bapak Hasan Mangale.
Indria Ratna Hapsari (Head of HR Country Services Indonesia & Singapore – Tetra Pak), saat berdiskusi dengan moderator juga menyampaikan bahwa perusahaannya mengimplementasikan praktik outsourcing dan karyawan outsourcing mendapat jaminan asuransi kesehatan selain BPJS kesehatan. Selain itu, karyawan outsourcing juga mendapatkan bonus berdasarkan performance perusahaan dan performance individual.
Ketika ditanya lagi oleh Arif Pribadi (moderator) “Apa enggak rugi itu perusahaan memberikan seperti itu?” Indria menjawab dengan singkat dan jelas “Kan sudah dihitung”. Penjelasan Indria ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh penulis di bukunya.
Satu lagi tanggapan diberikan oleh Wing Antariksa (Chief Human Resources Officer PT Blue Bird Tbk) yang mengaku tertarik saat membaca buku How & Why pada bagian penjelasan persepsi yang kurang tepat mengenai outsourcing. Dirinya sangat setuju bahwa outsourcing bukanlah cost cutting melainkan cost efficiency dengan catatan tujuannya jelas dan telah diperhitungkan sebelum memutuskannya.
Terakhir, Denny memberikan kunci sukses pelaksanaan outsourcing, yakni ketika user atau perusahaan pengguna paham seperti apa kebutuhannya dan sejauh mana mereka ingin bertumbuh.
Outsourcing: Optimalisasi Produktivitas dengan Menggunakan Outsourcing Dilihat dari Sudut Pandang Laporan Keuangan
Strategi bisnis yang sejauh ini paling ampuh adalah fokus pada kegiatan utama. Sehingga Outsourcing merupakan solusi. Kegiatan penunjang bisa diserahkan kepada perusahaan Outsourcing.
Melihat pelaksanaan outsourcing dari sudut pandang laporan keuangan membuat kita menjadi mudah memahami apakah fokus bisnis kita saat ini sudah kepada kegiatan utama atau masih ada kegiatan penunjang yang belum kita pindahkan ke pihak yang lebih profesional untuk mengelolanya, perusahaan outsourcing.
Bagaimana melihat strategi outsourcing ini dari sudut pandang laporan keuangan perusahaan?
Pengaruh Outsourcing terhadap Income Statement
Outsourcing mengubah komponen pencatatan dalam Income Statement. Biaya tenaga kerja yang sebelumnya muncul dalam Operating Expenses kini terintegrasi ke dalam Cost of Goods Sold (COGS) atau Cost of Revenue (COR) ketika outsourcing diterapkan.
Ilustrasi Pencatatan Income Statement:
Tanpa Outsourcing:
– Pendapatan: $1,000,000
– COGS: $400,000 – Biaya Bahan Baku: $350,000 – Biaya lain: $50,000
– Gross Profit: $600,000
– Operating Expenses: $300,000 – Biaya Tenaga Kerja (karyawan inti + non-inti): $250,000 – Biaya Administrasi: $50,000
– Net Profit: $300,000
Dengan Outsourcing:
– Pendapatan: $1,000,000
– COGS: $600,000 – Biaya Bahan Baku: $350,000 – Biaya lain: $50,000 – Biaya Outsourcing (tenaga kerja non-inti): $200,000 (belum manajemen fee)
– Gross Profit: $400,000
– Operating Expenses: $100,000 – Biaya Tenaga Kerja (hanya karyawan inti): $50,000 – Biaya Administrasi: $50,000
– Net Profit: $300,000
Jadi hanya pindah “post” saja? Iya, untuk jangka pendek, dan hal ini adalah indikasi apakah bisnis Anda fokus pada kegiatan utama atau belum. Pelaksanaan Outsourcing tidak memberikan direct impact penghematan biaya. Potesi yang dihasilkan jauh lebih besar. Growth.
Poin Utama:
Efisiensi Biaya: Dengan outsourcing, perusahaan dapat mengalokasikan sumber daya untuk bisnis inti. Walaupun COGS meningkat karena biaya outsourcing, Operating Expenses berkurang signifikan.
Fokus pada Bisnis Utama: Perusahaan dapat fokus sepenuhnya pada peningkatan revenue, tanpa terbebani oleh manajemen tenaga kerja non-inti.
Beberapa hal memang perlu menjadi pertimbangan sebelum melaksanakan kerjasama dengan perusahaan Outsourcing. Mengenai bagaimana memilih vendor outsourcing yang baik, artikelnya dapat di baca di sini.
Memutuskan untuk melaksanakan outsourcing dan bekerjasama dengan vendor yang kurang tepat tentu saja bukan menjadi solusi, melainkan menambah permasalahan dan potensi permasalahan. Perhatikan hal ini.
Agar optimalisasi terjadi, kita dapat melakukan analisa SWOT, berikut adalah analisa SWOT menerapkan strategi outsourcing.
Analisis SWOT Strategi Outsourcing:
Strengths (Kekuatan): Fokus pada core business, efisiensi biaya, dan manajemen SDM yang lebih ringkas.
Weaknesses (Kelemahan): Ketergantungan pada vendor outsourcing dan potensi komunikasi yang kurang efektif.
Opportunities (Peluang): Peluang ekspansi bisnis dengan biaya operasional yang lebih rendah dan akses ke teknologi atau keahlian spesifik melalui vendor outsourcing.
Threats (Ancaman): Fluktuasi biaya jasa outsourcing dan potensi perubahan regulasi yang mempengaruhi operasional.
Dengan melihat ilustrasi di atas, jelas bahwa strategi outsourcing membawa perubahan pada struktur laporan keuangan, khususnya Income Statement. Dan perubahan di Income Statement ini mencerminkan apakah organisasi bisnis kita sudah fokus pada kegiatan utama atau belum.
Namun, sebelum memutuskan untuk mengadopsi strategi ini, perusahaan harus memahami semua aspek, risiko, dan potensi keuntungan yang mungkin didapat.
Salah satu sumber lain yang memberikan pengetahuan mengenai outsourcing. Artikel OCBC.