Pada tanggal 31 Oktober 2019 lalu, Tetra Pak Indonesia memaparkan penelitiannya dalam acara yang berjudul “The Convergence of Health & Environment” di Grand Ballroom Hotel AYANA Midplaza, Jakarta. Riset atau penelitian yang dipaparkan adalah mengenai Tetra Pak Index 2019. Salah satunya, menunjukkan adanya relevansi yang kuat antara kesehatan konsumen dan kesehatan lingkungan.
Tetra Pak Index 2019 Tunjukkan Relevansi Kuat antara Kesehatan Konsumen dan Lingkungan.
sumber: Kompas.com
Perusahaan spesialis pemrosesan dan pengemasan makanan serta minuman, Tetra Pak Indonesia kembali merilis laporan survei tahunan bertajuk Tetra Pak Index 2019. Survei ini dilakukan di lima negara sekaligus, di antaranya adalah Amerika Serikat, Inggris, Arab Saudi, Brazil, dan Indonesia. Berkolaborasi dengan Ipsos, riset ini mengambil 1.000 responden dari masing-masing negara.
Di Indonesia sendiri, mayoritas responden berasal dari kawasan padat penduduk, khususnya di wilayah Jawa. Secara garis besar, survei ini menunjukkan bahwa saat ini konsumen telah memahami bahwa kesehatan pribadi dan kesehatan lingkungan memiliki keterkaitan satu sama lain.
Pemaparan riset Tetra Pak Index 2019 ini berlangsung di talkshow bertajuk “The Convergence of Health & Environment” yang dihelat pada Kamis (31/10/2019), di Grand Balroom Hotel AYANA Midplaza, Jakarta.
Beberapa pembicara yang hadir di acara ini di antaranya adalah Communication Manager Tetra Pak Malaysia, Singapore, Philippines, Indonesia – Gabrielle Angriani; Managing Director Ipsos Indonesia – Soeprapto Tan; dan Co-Founder Burgreens Organic Eatery dan Home Delivery – Helga Angelina Tjahyadi.
Adapun salah satu temuan menarik yang ada di survei ini antara lain adalah 82 persen konsumen Indonesia setuju bahwa kerusakan lingkungan dapat tertangani jika mampu mengubah kebiasaan yang ada saat ini. Kemudian lebih dari 80 persen konsumen setuju akan pentingnya gaya hidup sehat dan hidup dengan dampak yang minimal.
Sumber: Kompas.com
Senada dengan survei tersebut, Gabrielle Angriani pun memaparkan bahwa lebih dari 80 persen konsumen Indonesia memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan dan kesehatan.
“Di Indonesia, terdapat lima karakteristik makanan dan minuman yang dapat menjawab kebutuhan kesehatan konsumen, di antaranya dalah bahan-bahan alami, tanpa bahan pengawet, organik, kemasan yang dapat di daur ulang, dan kemasan yang dapat digunakan atau diisi kembali,” paparnya.
Meski memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, faktanya hanya 42 persen konsumen Indonesia yang mendaur ulang produk yang telah dipakai. Kemudian hanya 45 persen konsumen Indonesia yang berkeinginan untuk mengurangi pembelian dan pemakaian plastik.
“Karenanya, selama 15 tahun terakhir ini kita tidak henti-hentinya mengedukasi masyarakat, mulai dari sekolah-sekolah hingga ke retail agar terbiasa untuk melakukan segregasi (pemilahan sampah),” tambahnya.
Soeprapto Tan sendiri memaparkan bahwa jumlah penduduknya yang besar adalah salah satu alasan terpilihnya Indonesia menjadi salah satu negara kunci. Selain itu “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjadi karakteristik unik budaya pun menjadi alasan pendukung lainnya.
“Secara aspek kesehatan, Indonesia menempati satu dari lima negara penderita diabetes tertinggi. Sedangkan secara lingkungan, permasalahan sampah plastik juga telah menjadi sorotan internasional,” ujarnya.
Sedangkan di tempat terpisah, Managing Director Tetra Pak Malaysia, Singapore, Philippines, Indonesia – Michael Wu mengatakan bahwa laporan Tetra Pak Index 2019 ini menunjukkan industri makanan dan minuman adalah salah satu industri pertama yang melihat adanya konvergensi antara kesehatan dengan lingkungan.
“Hal ini memberikan peluang baru bagi industri makanan dan minuman untuk menciptakan hubungan personal dengan konsumen, serta mengatasi kedua hal ini secara bersamaan,” ujarnya.
Dirinya pun menambahkan bahwa peluncuran Tetra Pak Index 2019 ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pelaku industri makanan dan minuman di Indonesia, sehingga dapat memenangkan tren konvergensi kesehatan dan lingkungan di masa depan.
Sumber: Kompas.com
Tetra Pax Index 2019 pun menekankan peran penting aspek kemasan di setiap aktivitas konsumsi masyarakat. Pemilihan kemasan sebaiknya memerhatikan pemanfaatan sumber daya alam secara bertanggung jawab dan memastikan proses daur ulang pasca konsumsi dilakukan secara tepat.
Agustus silam pun Tetra Pak Indonesia meluncurkan laporan berkelanjutan dengan beberapa pencapaian daur ulang di tahun 2018. Hal ini diwujudkan dengan menambah nilai investasi untuk peningkatan kapasitas hingga 1.500 ton per bulan, mencapai tingkat daur ulang sebesar 21,2 persen (10.338 ton), serta meningkatkan fasilitas pemilahan mitra pengumpul.
Tahun ini, Tetra Pak Indonesia pun telah menambah mitra pengumpul baru yang bertanggung jawab untuk wilayah Bali, Jawa timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jabodetabek demi mencapai kenaikan 22,5 persen dalam tingkat daur ulang. Hal ini dilakukan guna menjawa tantangan ekosistem daur ulang di Indonesia, terutama pengelolaan sampah karton kemasan minuman. Simak laporan lengkap Tetra Pak Index 2019 dengan mengunjungi halaman ini.
Tanggal 22–23 Mei 2025 menjadi momen seru bagi karyawan HCG yang berlokasi di Bandung untuk ikut program Safety Riding. Bertempat di Safety Riding Center Cimahi, instruktur handal, Bapak Asep Wawan dan Bapak Amizar Maas, memandu kegiatan safety riding ini. Mereka membimbing para peserta agar makin jago dan cari aman dalam berkendara roda dua.
Program ini melibatkan total 63 peserta yang dibagi dalam dua hari. Hari pertama, Kamis, 22 Mei, diisi oleh Tim C dan Nonshift dengan total 28 orang. Sedangkan di hari kedua, Jumat, 23 Mei, giliran Tim A, Tim B, dan Nonshift yang berjumlah 35 orang. Suasana pun makin meriah karena setiap peserta boleh memilih motor favoritnya untuk praktek riding, mulai dari matic, bebek, sampai sport. Kebebasan memilih ini membuat semua peserta bersemangat dan tak sabar untuk unjuk gigi di lintasan.
Meski cuaca sempat mendung di hari kedua, semangat peserta tetap tak surut. Bahkan ketika hujan deras mengguyur, panitia sigap mengganti sesi praktik lapangan dengan latihan menggunakan teknologi VR. Kreatif dan adaptif! Semua tetap semangat belajar tanpa harus basah kuyup.
Pada akhirnya, kegiatan Safety Riding ini bukan hanya sekadar latihan berkendara, tapi juga jadi ajang silaturahmi dan memperkuat budaya “cari aman” di lingkungan kerja HCG. Harapannya, karyawan makin sigap dan cari aman saat berkendara, baik di jalan maupun saat bekerja. Sampai jumpa di sesi berikutnya!
Bekerja dalam tim bisa jadi pengalaman yang menyenangkan – atau justru bikin frustrasi. Pernahkah Anda bertanya, kenapa ada tim yang selalu kompak mencapai target sementara tim lain ribut terus karena salah paham? Ternyata, tim yang efektif tidak terbentuk dalam semalam. Mereka membangun kebiasaan-kebiasaan kunci dalam cara bekerja sehari-hari. Di bawah ini, kita akan bahas tiga kebiasaan utama tim efektif – termasuk metode Radical Candor yang terkenal – yang bisa Anda coba terapkan agar tim Anda makin solid dan produktif.
1. Radical Candor (Blak-blakan dengan Kepedulian)
Kebiasaan pertama adalah menerapkan Radical Candor dalam komunikasi tim. Istilah ini dipopulerkan oleh Kim Scott dan intinya memberikan umpan balik secara jujur dan langsung, namun tetap dengan empati. Artinya, setiap anggota tim – terutama pemimpin – berani menyampaikan kritik atau saran secara blak-blakan demi kebaikan bersama, sambil menunjukkan bahwa kita benar-benar peduli pada orang yang diberi masukan.
Pendekatan terbuka semacam ini menghindarkan tim dari dua ekstrem: pujian kosong yang tidak membantu, atau kritik pedas yang menjatuhkan semangat. Dengan Radical Candor, feedback diberikan apa adanya tanpa basa-basi tapi juga tanpa bermaksud kasar. Hasilnya, tim bisa segera memperbaiki kesalahan dan belajar karena setiap orang tahu kekurangan mereka disampaikan untuk membangun, bukan menyerang.
2. Menciptakan Rasa Aman untuk Berpendapat
Kebiasaan kedua, tim efektif menciptakan suasana yang aman secara psikologis (psychological safety) bagi semua anggotanya. Maksudnya, setiap orang merasa bebas untuk berbicara, mengajukan pertanyaan, memberikan ide, bahkan melakukan kesalahan, tanpa takut dihukum atau dipermalukan.
Studi Google lewat Project Aristotle menemukan bahwa psychological safety merupakan faktor paling vital dalam tim berperforma tinggi – tim dengan tingkat rasa aman tinggi terbukti lebih kreatif, inovatif, dan cepat memecahkan masalah.
3. Menyatukan Tujuan dan Peran yang Jelas
Terakhir, tim yang efektif selalu membiasakan menyatukan tujuan dan memperjelas peran setiap anggota. Mereka memastikan semua orang paham betul mau dibawa ke mana arah kerja tim. Dengan visi atau target bersama yang jelas, tim memiliki kompas yang memandu keputusan dan prioritas sehari-hari.
Selain tujuan, pembagian peran yang jelas juga bagian dari kebiasaan ini. Setiap anggota tim tahu tanggung jawab masing-masing, sehingga kolaborasi lebih lancar dan tidak ada tugas yang terlewat atau tumpang-tindih.
Saatnya Menerapkan Kebiasaan Ini
Tiga kebiasaan di atas terdengar sederhana, tapi dampaknya luar biasa bagi kerja tim. Tentu, membangun kebiasaan tim efektif tidak terjadi dalam semalam – perlu komitmen dan latihan terus-menerus. Mulailah sedikit demi sedikit: biasakan memberi umpan balik jujur nan konstruktif, ciptakan lingkungan di mana semua orang berani berbicara, dan rutin selaraskan tujuan serta peran tim.
Perubahan kecil yang konsisten akan membuat kerja tim Anda semakin lancar, komunikatif, dan tepat sasaran. Jadi, jangan ragu menerapkan kebiasaan-kebiasaan ini. Dengan waktu dan ketelatenan, Anda bisa melihat tim Anda tumbuh menjadi tim yang efektif, kompak, dan berprestasi tinggi. Selamat mencoba!
Membaca buku Aikido in Everyday Life: Giving in to Get Your Way benar-benar membuka mata saya mengenai makna konflik dan cara menghadapinya. Selama ini saya cenderung melihat konflik sebagai sesuatu yang negatif yang sebisa mungkin dihindari, atau sebaliknya sebagai ajang pembuktian di mana harus ada pihak yang “menang” dan “kalah”. Dobson dan Miller mengajak saya merevisi pandangan itu. Mereka menekankan bahwa konflik adalah bagian alami dari kehidupan manusia – netral, tidak inheren baik ataupun buruk. Konflik justru bisa menjadi peluang untuk tumbuh dan saling memahami jika dikelola dengan benar, alih-alih sesuatu yang selalu berakhir dengan permusuhan.
Salah satu wawasan penting dari buku ini adalah perlunya menghindari mentalitas menang-kalah dalam memandang konflik. Sebelum membaca, saya akui sering terjebak dalam pola pikir bahwa setiap konflik adalah pertandingan yang harus dimenangkan. Buku ini menunjukkan bahwa tidak semua konflik itu bersifat kompetisi langsung. Saya teringat sebuah kutipan dalam buku yang kurang lebih berbunyi, “It’s not whether you win or lose, but whether you choose to play the game.” Maksudnya, hal terpenting bukan soal menang atau kalahnya, melainkan keputusan kita apakah akan “ikut bermain” dalam konflik tersebut atau tidak. Kita diberi kebebasan untuk memilih cara merespons konflik, bahkan termasuk pilihan untuk tidak terlibat dalam pola pertarungan sama sekali. Wawasan ini mengubah cara pandang saya: daripada otomatis melihat pertikaian sebagai sesuatu yang harus dimenangkan, kini saya lebih fokus pada bagaimana menyikapi konflik tersebut dengan bijak.
Enam Strategi Merespons Konflik (Attack-tics)
Dobson dan Miller memperkenalkan enam opsi dasar dalam menghadapi konflik, yang mereka sebut sebagai kerangka “Attack-tics”. Keenam strategi merespons konflik ini memberi saya toolkit baru dalam situasi konflik. Ternyata, respons saya terhadap “serangan” atau konfrontasi bisa bermacam-macam, tidak lagi terbatas pada sekadar melawan atau lari. Enam opsi tersebut dijabarkan sebagai berikut:
Melawan (Fighting Back): Menghadapi serangan dengan perlawanan langsung. Buku ini menyarankan bahwa melawan sebaiknya dijadikan opsi pamungkas, dipakai bila konflik sudah genting atau menyangkut hal prinsip/keamanan hidup. Saya merenungkan bahwa selama ini saya kadang terlalu cepat “angkat senjata” secara emosional, padahal fighting back yang efektif seharusnya dipakai selektif, hanya ketika benar-benar diperlukan.
Mundur (Withdrawal): Menghindar atau menarik diri dari konflik. Sebelumnya saya menganggap mundur berarti kalah atau pengecut. Namun Dobson & Miller menjelaskan mundur dapat menjadi langkah strategis – misalnya ketika waktu dan tempat tidak tepat untuk berkonfrontasi, atau untuk memberi jarak sehingga emosi mereda. Saya jadi paham bahwa kadang withdrawal justru tindakan cerdas untuk mencegah situasi memburuk.
Berunding (Parley): Mengajak dialog atau negosiasi dengan pihak lawan. Strategi ini digunakan ketika situasi konflik buntu dan tidak ada yang bisa benar-benar menang tanpa kompromi. Intinya, daripada ngotot berhadap-hadapan, kita bisa duduk bersama mencari solusi yang saling menguntungkan. Refleksi saya: opsi berunding menantang ego saya, karena berarti saya harus mendengarkan sudut pandang lawan dan rela berkompromi. Tapi buku ini mengingatkan bahwa parley sering kali membuka jalan keluar di saat konflik tampak mustahil diselesaikan.
Diam Saja (Doing Nothing): Secara harfiah, tidak mengambil tindakan apa pun sebagai respons langsung. Awalnya saya sulit memahami bagaimana berdiam diri bisa menjadi strategi konflik. Ternyata, “tidak melakukan apa-apa” di sini adalah pilihan sadar untuk menunggu dan mengamati. Dengan diam sejenak, kita memberi ruang bagi lawan untuk mengungkapkan maksud sebenarnya, atau memberi waktu agar situasi mereda dengan sendirinya. Saya pernah mencoba pendekatan ini dalam sebuah perselisihan kecil, dan hasilnya mengejutkan – masalahnya kadang terselesaikan sendiri tanpa saya perlu intervensi apa-apa.
Tipu Daya (Deception): Menggunakan taktik pengalihan atau muslihat untuk meredakan konflik. Contoh yang diberikan dalam buku cukup jenaka: dalam cerita Robin Hood vs Little John, salah satu bisa saja berteriak “Beruang! Lari cepat!” untuk mengalihkan perhatian lawan sejenak. Intinya, deception bukan tentang berdusta jahat, melainkan cara membeli waktu atau mengubah dinamika konflik. Sebagai orang yang menjunjung tinggi kejujuran, strategi ini terasa kontroversial bagi saya. Namun buku ini membuat saya sadar bahwa sedikit tipu muslihat yang tidak merugikan siapa pun bisa sah-sah saja demi mencegah kekerasan atau dampak lebih buruk.
Aiki: Inilah inti dari pendekatan Aikido – merespons konflik dengan cara menyatukan diri dengan “serangan” lawan dan mengalihkannya. Alih-alih melawan tenaga dengan tenaga, kita mengalir bersama energi konflik tersebut untuk kemudian mengubah arahnya. Aiki berasal dari bahasa Jepang yang berarti “harmoni” atau “konfluensi,” dan dalam buku ini Aiki digambarkan sebagai upaya untuk memulihkan keseimbangan tanpa menghancurkan penyerang. Bagi saya, konsep Aiki terasa indah sekaligus menantang. Inilah opsi yang paling ideal – bagaimana kita bisa “menang” tanpa harus membuat orang lain kalah, melainkan dengan mengubah konflik menjadi kerjasama.
Mempelajari keenam strategi di atas sungguh membuka wawasan saya. Saya jadi mengerti bahwa saya selalu memiliki banyak pilihan dalam menghadapi pertikaian. Setiap opsi tersebut netral – tidak ada yang otomatis lebih benar atau salah. Penulis menegaskan bahwa tidak ada konotasi moral melekat pada pilihan melawan, mundur, berunding, diam, menipu, maupun Aiki. Semuanya bergantung pada kecocokan dengan situasi. Pemahaman ini menantang asumsi pribadi saya: dulu saya mengira “melawan balik” itu sikap berani dan terhormat sementara “mundur” adalah pengecut, atau “menipu” itu pasti buruk. Sekarang, saya sadar hal-hal itu tergantung konteks. Justru kebijaksanaan kita dalam memilih respons yang tepat yang menentukan hasil konflik, bukan gengsi atau stereotip benar-salahnya suatu opsi.
Pendekatan Aikido dalam Hubungan Sehari-hari
Inti filosofi Aikido, sebagaimana tercermin dalam buku ini, adalah pencarian harmoni dalam situasi konflik. Prinsip “Giving in to Get Your Way” (mengalah untuk mendapatkan jalan/keinginan kita) awalnya terdengar kontra-intuitif bagi saya. Namun setelah merenung, saya memahami maknanya: terkadang dengan tidak ngotot melawan, justru kita bisa mencapai tujuan kita secara lebih elegan dan damai. Pendekatan Aikido mendorong saya untuk “menjadi air, bukan batu karang,” seperti disampaikan buku ini. Air itu lentur, mengikuti aliran, dan dapat meredam benturan; sedangkan batu yang kaku justru mudah pecah ketika mendapat tekanan besar. Dalam konteks hubungan, saya menafsirkan nasihat ini sebagai ajakan untuk lebih fleksibel dan adaptif menghadapi kemarahan atau serangan emosi dari orang lain, daripada bersikukuh keras melawan.
Saya mulai mencoba menerapkan prinsip Aiki dalam interaksi sehari-hari, baik di lingkungan kerja maupun personal. Misalnya, ketika terjadi salah paham dengan rekan kerja dan ia mulai terdengar menyerang, naluri awal saya biasanya ingin membela diri dengan nada tinggi pula. Sekarang saya berusaha menahan diri sejenak (doing nothing sekejap untuk mengumpulkan informasi), menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri dan “menemukan pusat” keseimbangan seperti diajarkan di buku, lalu mendengarkan apa inti kekesalannya. Saya mencoba “bergabung dengan energinya” melalui empati – memahami perspektifnya dan mengakui perasaannya (flowing with the attack daripada resisting secara frontal). Hasilnya, saya mendapati lawan bicara cenderung lebih terbuka ketika merasa didengarkan. Ketika ketegangan mereda, baru saya arahkan percakapan menuju solusi (ini ibarat gerakan Aikido mengalihkan tenaga serangan menjadi upaya penyelesaian).
Tentu, menerapkan pendekatan harmonis ini tidak selalu mudah. Ada kalanya emosi pribadi saya sulit dikendalikan – ego saya masih ingin menang berdebat. Namun, buku ini mengingatkan pentingnya latihan dan kesadaran diri. Dobson dan Miller menekankan bahwa mengubah kebiasaan reaktif kita butuh latihan konsisten dan kesabaran, dimulai dari konflik-konflik kecil sehari-hari. Saya pun pelan-pelan mempraktikkan teknik centering (memusatkan perhatian pada titik dua jari di bawah pusar sambil mengatur napas) ketika terlibat diskusi panas. Walaupun awalnya canggung, saya merasakan perbedaan: saya lebih mampu menjaga nada suara tetap tenang dan tidak terpancing mengatakan hal-hal yang akan disesali. Pendekatan Aikido dalam komunikasi ini benar-benar membantu menciptakan suasana lebih damai; ibaratnya saya “menari” dengan konflik alih-alih berkelahi.
Selain itu, saya belajar bahwa “memberi jalan” bukan berarti kalah. Contohnya dalam hubungan dengan orang lain, dulu saya berpikir kalau saya mengalah dalam argumen, artinya saya kalah. Sekarang, saya melihat justru dengan sengaja mengalah sesekali (tentu dalam hal-hal yang tidak prinsipil), saya “menyalurkan” konflik ke arah yang lebih produktif. Orang lain merasa didengar, emosinya reda, dan akhirnya kami bisa bicara solusi. Ujungnya, keinginan saya pun lebih mudah tercapai karena tidak ada tembok resistensi dari dia. Ini persis esensi giving in to get your way: dengan berbesar hati mengalah, saya malah mendapatkan hasil yang saya butuhkan tanpa harus memaksa. Pendekatan ini tidak hanya meredakan konflik, tapi juga memperkuat rasa saling menghormati dalam berinteraksi.
Perubahan Cara Pandang: Menang, Kalah, dan Harmoni
Setelah menuntaskan buku ini, saya merasakan perubahan mendasar dalam cara pandang terhadap konflik, konsep menang-kalah, maupun hubungan antarmanusia. Konflik kini tidak lagi saya pandang sebagai ancaman yang menakutkan, melainkan sesuatu yang wajar terjadi dan bisa dikelola. Saya tidak lagi terlalu cemas saat perbedaan pendapat muncul, karena saya tahu ada berbagai jalan untuk meresponsnya. Bahkan, konflik yang diatasi dengan baik bisa memperdalam pemahaman saya tentang orang lain dan diri sendiri.
Mengenai konsep menang dan kalah, buku ini benar-benar menggugah pemikiran saya. Dulu, saya sangat khawatir dianggap kalah dalam pertengkaran – seakan harga diri saya turun jika mengalah. Sekarang saya menyadari bahwa menang secara egois tidak ada artinya jika hubungan saya dengan lawan konflik rusak. Sebaliknya, kemenangan sejati dalam konflik adalah ketika semua pihak merasa menang. Saya teringat satu pesan buku yang berbunyi “The best victory is the one in which everyone wins.” Menurut saya inilah esensi Aikido yang paling berkesan: tujuan akhirnya adalah harmoni dan saling menguntungkan. Kemenangan versi lama yang berarti membuat lawan takluk justru terasa hampa ketika dibandingkan dengan kemenangan bersama semacam ini.
Paradigma saya tentang kekalahan pun berubah. Saya tak lagi memandang mengalah atau mundur sebagai semata kekalahan, melainkan sebagai strategi jangka panjang. Ada kalanya “kalah sejenak” dalam perdebatan justru menghindarkan kekalahan lebih besar, misalnya hilangnya relasi baik atau penyesalan di kemudian hari. Dengan kata lain, buku ini mengajarkan saya memisahkan ego dari proses konflik. Fokusnya bukan lagi pada “aku vs kamu”, tetapi pada “kita vs masalahnya”.
Dampak paling positif dari perubahan cara pandang ini terasa dalam hubungan-hubungan saya. Saya menjadi lebih tenang dan mindful ketika terjadi gesekan dengan teman, keluarga, ataupun kolega. Alih-alih terburu-buru marah atau menarik diri sepenuhnya, saya mencoba melihat konflik sebagai kesempatan untuk memperkuat hubungan. Misalnya, dengan praktik Aiki, justru setelah konflik reda, sering muncul saling pengertian yang lebih dalam. Hubungan kami jadi makin kokoh karena kami berhasil melalui ujian emosi bersama-sama. Hal ini memperdalam keyakinan saya bahwa konflik yang ditangani dengan baik bisa mempererat ikatan, bukan merusaknya.
Secara emosional, membaca Aikido in Everyday Life juga menjadi pengalaman reflektif yang kaya. Saya beberapa kali terhenyak oleh contoh-contoh kisah dan prinsip yang diberikan. Ada perasaan lega mengetahui bahwa saya tidak wajib selalu benar atau menang dalam setiap situasi; kadang yang dibutuhkan justru kerendahan hati untuk yield (mengalah sejenak) demi kebaikan bersama. Tentu, saya juga merasa tertantang. Tantangan utamanya adalah konsistensi menerapkan semua ini di tengah rutinitas dan dorongan emosi nyata. Namun, penulis meyakinkan bahwa perubahan kebiasaan membutuhkan proses, dan setiap upaya kecil adalah kemajuan. Nasihat itu membantu saya untuk tidak frustrasi ketika sesekali masih terpancing emosi; saya belajar memaafkan diri sendiri dan kembali ke jalur harmoni.
Pada akhirnya, buku Aikido in Everyday Life telah memperdalam pemahaman saya bahwa menang dalam konflik bukan berarti mengalahkan lawan, melainkan mengatasi masalah dengan tetap menjaga martabat semua pihak. Saya menutup buku ini dengan perasaan optimis dan lebih percaya diri dalam menghadapi konflik-konflik kehidupan sehari-hari. Kini, setiap kali tanda-tanda konflik muncul, saya teringat prinsip Aikido: tetap tenang, jangan takut “memberi jalan”, dan cari cara agar semua keluar sebagai pemenang. Refleksi ini menjadikan pengalaman membaca buku tersebut tidak hanya sebatas teori di kepala, tapi benar-benar menyentuh cara saya menjalani hidup dan menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitar saya.
Berjalan kaki merupakan salah satu bentuk olahraga sederhana yang dapat dilakukan oleh siapa saja, dari anak-anak hingga lansia. Aktivitas ini tidak memerlukan peralatan khusus, gratis, dan bisa dilakukan di mana saja. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan setiap orang melakukan aktivitas fisik intensitas sedang setidaknya 150 menit per minggu – setara dengan 30 menit per hari selama lima hari.[1] Berjalan kaki dapat menjadi cara yang efektif untuk memenuhi rekomendasi tersebut karena mudah diakses dan bisa disesuaikan dengan usia maupun kondisi masing-masing individu.[1]
Mengapa Memilih Jalan Kaki?
Jalan kaki menawarkan beragam manfaat kesehatan. Meskipun terlihat sederhana, langkah-langkah kecil setiap hari dapat memberikan dampak besar bagi kebugaran tubuh. Berikut beberapa manfaat utama dari olahraga jalan kaki secara rutin:
Meningkatkan kesehatan jantung: Berjalan kaki membantu melancarkan sirkulasi darah dan menurunkan tekanan darah, sehingga mengurangi risiko penyakit jantung.
Mengontrol berat badan: Aktivitas ini membakar kalori dan meningkatkan metabolisme. Rutin berjalan setiap hari membantu menjaga berat badan tetap ideal dan mencegah obesitas.
Memperkuat otot dan tulang: Jalan kaki termasuk latihan menahan beban yang dapat meningkatkan kepadatan tulang serta memperkuat otot kaki. Hal ini penting untuk mencegah osteoporosis, terutama pada lansia.[4]
Menyehatkan persendian: Gerakan berjalan melumasi sendi lutut dan pinggul, membantu menjaga fleksibilitas dan mengurangi nyeri sendi. Penelitian menunjukkan berjalan kaki sekitar 1 jam per minggu saja sudah dapat membantu mencegah artritis dan disabilitas pada usia lanjut.
Meningkatkan mood dan kesehatan mental: Olahraga ringan seperti berjalan merangsang pelepasan hormon endorfin yang dapat meningkatkan suasana hati dan mengurangi stres. Sebuah studi bahkan menemukan bahwa berjalan kaki 30 menit setiap hari secara signifikan menurunkan gejala depresi dan kecemasan.[1]
Meningkatkan sistem imun: Rutin berjalan juga berdampak positif pada kekebalan tubuh. Dalam musim flu, orang yang berjalan kaki minimal 20 menit per hari, 5 kali seminggu, dilaporkan memiliki hari sakit 43% lebih sedikit dibanding mereka yang jarang berolahraga.[3]
Manfaat-manfaat di atas menjadikan jalan kaki sebagai pilihan olahraga yang cocok di segala usia. Selain rendah risiko cedera dibandingkan olahraga berat, jalan kaki dapat dilakukan sesuai kemampuan dan kondisi masing-masing orang.
Jalan Kaki di Setiap Tahap Usia
Anak-Anak dan Remaja
Bagi anak-anak dan remaja, aktivitas fisik seperti jalan kaki penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan anak usia 6–17 tahun untuk beraktivitas aerobik setidaknya 60 menit setiap hari. Jumlah ini kira-kira setara dengan 11.000–12.000 langkah per hari.[2] Berjalan kaki dapat menjadi bagian dari aktivitas tersebut, misalnya dengan berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah, bermain di luar rumah, atau sekadar berjalan-jalan di taman. Kebiasaan aktif sejak dini akan membantu anak memiliki tulang yang kuat, berat badan sehat, dan kebiasaan hidup bugar hingga dewasa.
Dewasa
Bagi orang dewasa, berjalan kaki adalah cara mudah untuk mempertahankan kebugaran di tengah kesibukan. Para ahli menyarankan untuk menempuh sekitar 8.000–10.000 langkah per hari (sekitar 6–8 km) bagi orang dewasa guna memperoleh manfaat kesehatan optimal.[2] Jumlah langkah ini sejalan dengan rekomendasi aktivitas fisik harian dan telah terbukti membantu meningkatkan kesehatan jantung, kekuatan otot, fleksibilitas, serta memperbaiki kualitas tidur dan mood. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak langkah yang ditempuh per hari, risiko kematian dini akibat berbagai penyakit pun semakin menurun secara signifikan.[2] Berjalan kaki dengan kecepatan sedang hingga cepat selama 30–60 menit juga efektif untuk membantu mengendalikan gula darah dan kolesterol.
Bagi orang dewasa yang sibuk, berjalan kaki bisa disisipkan dalam rutinitas harian. Contohnya, memilih berjalan kaki saat pergi ke warung atau kantor pos terdekat, turun dari transportasi umum satu halte lebih awal lalu berjalan ke tujuan, atau berjalan kaki mengelilingi kantor selama istirahat. Dengan cara ini, tanpa disadari jumlah langkah harian akan bertambah dan tubuh tetap aktif.
Lansia
Kelompok lanjut usia sangat dianjurkan tetap aktif bergerak untuk menjaga kesehatan dan kemandirian. Berjalan kaki termasuk olahraga yang aman bagi lansia karena intensitasnya dapat disesuaikan. Rekomendasi jarak untuk lansia umumnya sedikit lebih rendah dibanding dewasa muda, yaitu sekitar 6.000–8.000 langkah per hari sudah memberikan manfaat kesehatan yang signifikan.[2] Pada lansia, rutin berjalan kaki terbukti dapat menurunkan risiko penyakit kronis, membantu menjaga kelenturan sendi, serta mencegah penurunan fungsi kognitif (seperti demensia) seiring bertambahnya usia. Aktivitas ini juga membantu menjaga keseimbangan tubuh sehingga mengurangi risiko jatuh.
Namun, lansia perlu memperhatikan kondisi fisiknya. Sangat disarankan untuk memulai secara bertahap dan menggunakan alat bantu (seperti tongkat) bila diperlukan. Konsultasi dengan dokter sebelum memulai program jalan kaki juga bijaksana, terutama bagi yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, agar rutinitas ini aman dan sesuai kemampuan.[2]
Tips Menjaga Kebugaran dengan Jalan Kaki
Agar manfaat jalan kaki dapat dirasakan optimal, konsistensi dan cara melakukannya perlu diperhatikan. Berikut beberapa tips dan panduan praktis untuk memulai serta mempertahankan kebiasaan jalan kaki:
Tetapkan target harian yang realistis: Mulailah dengan target langkah atau durasi yang sesuai kemampuan. Misalnya, target awal 2.000–3.000 langkah per hari, kemudian tingkatkan secara bertahap menjadi 5.000 langkah atau lebih. Pencapaian kecil ini akan memotivasi Anda untuk terus meningkatkan aktivitas.
Jadwalkan waktu berjalan kaki: Sisihkan waktu khusus setiap hari untuk berjalan kaki, entah di pagi hari sebelum beraktivitas atau sore hari selepas kerja. Menjadwalkan aktivitas ini membantu menjadikannya bagian rutin dari keseharian Anda.
Manfaatkan kesempatan untuk bergerak: Tambahkan langkah dalam aktivitas harian tanpa perlu waktu khusus. Contohnya, pilih menaiki tangga daripada lift atau eskalator, berjalan kaki saat istirahat makan siang, atau parkir kendaraan sedikit lebih jauh agar Anda punya jarak lebih untuk berjalan.[2]
Buat aktivitas lebih menyenangkan: Agar tidak bosan, cobalah variasikan pengalaman berjalan kaki Anda. Ubah rute secara berkala – misalnya berjalan di taman atau lingkungan baru – untuk mendapatkan suasana berbeda. Anda juga bisa mendengarkan musik atau podcast favorit saat berjalan (pastikan tetap waspada terhadap lingkungan sekitar demi keselamatan).
Berjalan bersama teman atau kelompok: Ajak keluarga, teman, atau bergabung dengan komunitas jalan kaki. Berolahraga bersama dapat membuat kegiatan ini lebih menyenangkan dan Anda saling memotivasi satu sama lain. Selain itu, ini juga menjadi aktivitas sosial yang bermanfaat bagi kesehatan mental.
Tingkatkan intensitas secara bertahap: Seiring meningkatnya kebugaran, Anda bisa menambah tantangan dalam rutinitas jalan kaki. Misalnya, tingkatkan kecepatan berjalan (jalan cepat), pilih rute dengan tanjakan atau anak tangga, atau sekali-sekali gunakan beban ringan seperti weighted vest. Variasi ini akan melatih otot dan stamina lebih baik serta mencegah kebosanan.[1]
Gunakan alat bantu pemantau: Pertimbangkan memakai pedometer atau aplikasi penghitung langkah di ponsel. Alat ini membantu memantau progress harian Anda dan dapat menjadi motivasi tambahan. Melihat jumlah langkah tercapai setiap hari memberi dorongan untuk mempertahankan atau bahkan melampaui target.
Dengan menerapkan tips di atas, berjalan kaki dapat menjadi kebiasaan yang melekat dalam gaya hidup Anda. Ingatlah untuk selalu mendengarkan tubuh sendiri – jika terasa lelah berlebihan atau nyeri, beristirahatlah. Konsistensi lebih penting daripada memaksakan diri. Sedikit berjalan kaki setiap hari, apabila dilakukan rutin, akan lebih bermanfaat daripada berolahraga berat tapi jarang.
“Rutin jalan kaki setidaknya 30 menit setiap hari itu akan memperpanjang usia tulang dan mengurangi risiko terkena osteoporosis dan osteoartritis,”
Demikian ungkap Dr. Tirta, seorang dokter dan influencer kesehatan, mengenai besarnya manfaat berjalan kaki bagi kesehatan tulang.[4]
Pada akhirnya, jalan kaki adalah langkah kecil yang bisa membawa perubahan besar bagi kesehatan. Di segala usia, melangkahlah menuju hidup yang lebih bugar. Mulai dari sekarang, mari jadikan jalan kaki sebagai bagian dari rutinitas harian untuk meraih tubuh yang sehat dan jiwa yang lebih bahagia.
Penyusunan artikel ini dibantu riset dengan chatGPT.
“Kita semua harus menanggung salah satu dari dua derita: derita disiplin atau derita penyesalan,” ujar motivator Jim Rohn.Disiplin diri adalah kunci menuju pencapaian, namun kenyataannya banyak orang merasa sulit menerapkannya secara konsisten. Survei American Psychological Association menemukan 27% orang menyebut kurangnya kemauan (willpower) sebagai hambatan utama mencapai tujuan pribadi mereka. Artikel ini mengulas mengapa menjaga disiplin begitu menantang dari sisi psikologis dan budaya, membahas miskonsepsi umum tentang disiplin, serta membagikan cara-cara terbaik membangun disiplin berdasarkan penelitian ilmiah terkini.
Mengapa Disiplin Itu Sulit?
Otak Mengutamakan Kenikmatan Instan: Secara alami, manusia cenderung memilih kepuasan langsung daripada manfaat jangka panjang. Psikolog menyebut ini present bias. Studi “marshmallow test” oleh Walter Mischel menunjukkan betapa sulitnya anak-anak menunda gratifikasi demi hasil yang lebih baik.
Ada “Perlawanan” dari Dalam Diri: Disiplin berarti melakukan hal tidak nyaman demi masa depan. Otak melihat tugas berat sebagai ancaman terhadap kenyamanan, sehingga kita mudah tergoda menunda-nunda. Ketakutan akan kegagalan pun membuat kita lari dari tanggung jawab.
Kemauan yang Terbatas dan Kelelahan: Teori ego depletion menunjukkan bahwa willpower bisa terkuras bila digunakan terus-menerus. Kurang tidur, stres, dan kelelahan membuat kita semakin sulit mengendalikan diri.
Lingkungan Penuh Distraksi: Gawai, media sosial, dan budaya instan membuat kita lebih mudah terdistraksi daripada fokus membangun kebiasaan disiplin jangka panjang.
Pengaruh Budaya terhadap Disiplin
Budaya sangat memengaruhi kebiasaan disiplin. Studi dalam Psychological Science (2022) menunjukkan anak-anak Jepang lebih mampu menunggu untuk makanan, sementara anak-anak Amerika lebih mampu menahan diri terhadap hadiah. Ini mencerminkan norma budaya berbeda. Penelitian lain menunjukkan mahasiswa Tiongkok memiliki self-control lebih tinggi secara perilaku dibanding mahasiswa Amerika, meskipun secara persepsi merasa kurang disiplin.
Kesalahpahaman Umum tentang Disiplin
“Disiplin = Menghukum Diri”: Riset Kristin Neff menunjukkan bahwa self-compassion lebih efektif dibanding kritik diri berlebihan dalam mempertahankan motivasi.
“Disiplin = Tekad Besi”: Orang yang disiplin biasanya menikmati prosesnya, bukan sekadar menekan keinginan.
“Disiplin adalah Bakat”: APA (American Psychological Association) menyatakan self-control bisa dilatih. Persepsi bahwa disiplin adalah bawaan justru melemahkan motivasi belajar.
“Disiplin Bertentangan dengan Kebebasan”: Jocko Willink mengatakan, “Discipline equals freedom” – karena disiplin memberi kontrol dan pilihan yang lebih luas di masa depan.
Cara Membangun dan Mempertahankan Disiplin Diri
Mulai dari Langkah Kecil: Perubahan bertahap lebih efektif dan membangun kepercayaan diri.
Bangun Kebiasaan Rutin: Studi Phillippa Lally menyebut dibutuhkan rata-rata 66 hari untuk membentuk kebiasaan otomatis.
Atur Lingkungan: Menurut James Clear dalam Atomic Habits, menghindari godaan lebih mudah daripada melawannya terus-menerus.
Kelola Energi dan Istirahat: Tidur cukup dan pemulihan terencana sangat penting untuk menjaga kemauan.
Latih Fokus dan Mindfulness: Meditasi membantu meningkatkan kendali atas impuls dan meningkatkan fokus.
Gunakan Reward dan Self-Compassion: Beri penghargaan atas progres dan perlakukan kegagalan sebagai pelajaran, bukan alasan menyerah.
Kesimpulan
Disiplin diri memang menantang, namun bukan mustahil. Dengan pemahaman psikologi, kebiasaan, dan budaya, serta strategi yang tepat, siapa pun bisa melatih disiplin yang berkelanjutan. Disiplin adalah jembatan antara impian dan kenyataan.
Siapa yang tidak kenal Intel? Perusahaan teknologi yang produknya, mungkin saja, sedang berada dalam perangkat Anda saat ini. Di balik sukses besar Intel, ada sosok inspiratif bernama Andrew Stephen Grove, atau lebih dikenal sebagai Andy Grove. Ia bukan sekadar CEO biasa, melainkan pemimpin dengan prinsip kuat yang mampu membawa Intel menuju kesuksesan besar.
Andy Grove lahir dengan nama Andrew Stephen Grove dan dikenal karena kemampuannya untuk selalu bangkit dari berbagai tantangan. Ia tidak hanya berhasil memimpin Intel menuju kesuksesan, tetapi juga mengajarkan pentingnya menghadapi perubahan secara proaktif.
Salah satu kalimat inspiratif yang sering dikutip dari Andy Grove adalah: “Only the Paranoid Survive”—artinya hanya mereka yang waspada dan adaptif yang mampu bertahan dan sukses. Grove percaya bahwa perubahan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari dunia bisnis, seperti kalimatnya yang terkenal: “Sooner or later, something fundamental in your business world will change.” Menurutnya, bisnis yang mampu bertahan adalah bisnis yang siap menghadapi perubahan besar secara cepat dan tepat.
Kalimat ini terbukti nyata dalam perjalanan Intel di tahun 1980-an. Saat itu, Intel menghadapi tekanan besar dalam bisnis chip memori, yang sebelumnya menjadi produk unggulan mereka. Grove membuat keputusan berani untuk sepenuhnya beralih fokus ke bisnis prosesor mikro. Keputusan yang awalnya tampak berisiko besar ini ternyata membawa Intel menuju kesuksesan besar hingga saat ini.
Selain ketegasan dalam mengambil keputusan, Andy Grove juga dikenal sangat transparan dan selalu mendorong komunikasi terbuka dalam timnya. Ia membangun lingkungan kerja yang saling percaya, terbuka, dan selalu mendorong inovasi.
Warisan Andy Grove bukan hanya soal produk-produk teknologi, tetapi juga pelajaran berharga tentang keberanian menghadapi perubahan, ketegasan mengambil keputusan, serta pentingnya komunikasi yang jujur dalam memimpin sebuah tim.
Referensi:
Grove, A. S. (1996). Only the Paranoid Survive. New York: Doubleday.
Ah, outsourcing, formula magis yang konon mampu menjawab semua tantangan bisnis modern. Mau tenaga kerja murah? Bisa. Mau fleksibilitas tanpa beban tanggung jawab? Sangat mungkin. Tapi, di balik semua keajaiban itu, mari kita bicara tentang realitas: beberapa perusahaan outsourcing yang tidak comply dengan undang-undang dan pemberi kerja yang memandang manusia sekadar komoditas. Bukankah ini model bisnis yang sangat “inspiratif”?
“Comply” Itu Pilihan, Bukan Kewajiban?
Bagi sebagian perusahaan outsourcing, aturan tenaga kerja sering kali hanya sekadar hiasan di presentasi tahunan. Siapa peduli tentang jaminan sosial, upah layak, atau kontrak kerja yang manusiawi? Bukankah jauh lebih efisien untuk melihat karyawan sebagai angka di lembar Excel ketimbang manusia dengan kebutuhan dan keluarga?
Dan mari kita bicara tentang undang-undang. Ada begitu banyak regulasi yang bertujuan melindungi pekerja, tapi beberapa perusahaan outsourcing sepertinya punya definisi baru tentang kepatuhan. “Kami patuh… kalau ada audit,” mungkin begitu motto mereka. Lagi pula, siapa yang akan tahu jika gaji sedikit dipotong atau jam kerja diperpanjang tanpa kompensasi? Asal tidak viral di media sosial, semuanya baik-baik saja, bukan?
Transaksi Tanpa Empati
Lalu ada pemberi kerja yang ingin semua serba instan. “Saya bayar, jadi saya tidak peduli.” Sikap ini sangat efisien, bukan? Mengapa repot-repot memikirkan dampak jangka panjang pada karyawan outsourcing ketika fokusnya hanya pada produktivitas saat ini? Lagi pula, kalau ada yang tidak puas, tinggal ganti. Tenaga kerja murah itu melimpah, bukan?
Ketika karyawan outsourcing mengeluh tentang kondisi kerja yang tidak layak, sering kali mereka hanya mendapat respons dingin: “Kalau tidak suka, pintu keluar ada di sana.” Betapa transaksionalnya hubungan ini! Seolah-olah tenaga kerja adalah barang yang bisa dibeli, dipakai, dan dibuang begitu saja.
Ketika Kesejahteraan Jadi Lelucon
Kesejahteraan? Ah, istilah itu tampaknya hanya cocok untuk kampanye CSR, bukan praktik sehari-hari. Beberapa perusahaan outsourcing bahkan merasa memberikan gaji minimum sudah cukup. Jaminan kesehatan? Asuransi? Itu semua dianggap “opsional.” Kalau pekerja sakit, ya urus sendiri. Bukankah kita sedang hidup di zaman individualisme?
Dan bagaimana dengan pelatihan atau pengembangan keterampilan? Jangan bercanda. Investasi pada manusia dianggap sebagai pemborosan. Mengapa melatih orang kalau mereka bisa digantikan dengan yang baru? Dalam logika ini, manusia tidak lebih dari komponen yang mudah diganti.
Siapa yang Salah?
Pada akhirnya, semua pihak terlibat dalam siklus ini: perusahaan outsourcing yang tidak comply, pemberi kerja yang hanya peduli pada hasil, dan sistem yang terlalu lemah untuk menegakkan aturan. Sementara itu, pekerja outsourcing dibiarkan bertahan di bawah bayang-bayang ketidakpastian, mencoba menyambung hidup dengan segala keterbatasan.
Mari Kita Renungkan
Outsourcing seharusnya menjadi solusi yang saling menguntungkan. Tapi ketika manusia hanya dilihat sebagai angka, dan aturan hanya dianggap formalitas, kita kehilangan esensi dari apa artinya menjadi manusia. Bukankah sudah saatnya kita berhenti berpikir transaksional dan mulai melihat tenaga kerja sebagai investasi, bukan beban?
Jadi, untuk perusahaan outsourcing yang tidak comply dan pemberi kerja yang hanya peduli pada margin, ini saatnya Anda bertanya pada diri sendiri: Apa artinya menjadi manusia? Karena pada akhirnya, ini bukan hanya tentang efisiensi atau keuntungan, tapi tentang martabat dan kemanusiaan.
Catatan Penutup
Artikel ini ditujukan untuk mengkritisi praktik outsourcing yang tidak manusiawi dan mengingatkan bahwa di balik angka-angka itu ada kehidupan yang perlu dihormati. Semoga kita bisa merenung dan memperbaiki.
Minggu pagi, 24 November 2024, suasana terasa berbeda di layar-layar Zoom yang menyala di rumah para karyawan PT Human Capital Global. Hari itu, sebuah bincang sehat dengan tema yang hangat dan relevan, “Kesehatan Mental: Cara Menghadapinya”, diadakan. Acara ini bukan sekadar diskusi biasa, melainkan sebuah wujud nyata kepedulian perusahaan terhadap kesejahteraan jiwa para karyawannya.
Berkat kolaborasi apik antara RS Mitra Keluarga Surabaya, Asuransi Sinarmas, dan PT Human Capital Global, bincang sehat ini hadir untuk menjangkau sisi yang sering kali terabaikan—kesehatan mental. Di tengah dunia kerja yang menuntut produktivitas tinggi, PT Human Capital Global menyadari pentingnya keseimbangan. “Karyawan bukan hanya sumber daya, mereka adalah manusia dengan jiwa yang perlu diperhatikan,” ujar salah satu perwakilan perusahaan.
Pembuka yang Menginspirasi
Acara ini dibuka oleh Francesca Tjubandrio, seorang psikolog dengan pengalaman panjang dalam menangani isu kesehatan mental. Dengan senyum hangatnya, Francesca memulai diskusi dengan pernyataan sederhana namun mendalam: “Ada semangat khusus saat kita mau belajar lagi.”
Pernyataannya seolah menyapa setiap peserta dengan pesan optimisme. Belajar, kata Francesca, tidak pernah mengenal ruang dan waktu. Melalui bincang sehat ini, para karyawan diajak untuk memahami bahwa kesehatan mental tidaklah statis. Itu adalah sesuatu yang dapat ditingkatkan, dirawat, dan diselaraskan dengan kebutuhan hidup.
Menyentuh Aspek Personal dan Profesional
Dalam penjelasannya, Francesca membongkar mitos bahwa kesehatan mental hanyalah bawaan sejak lahir. Ia menjelaskan bahwa kesehatan mental adalah hasil dari upaya—dapat diperbaiki dan diseimbangkan agar mendukung produktivitas kerja dan kehidupan pribadi.
Salah satu bagian menarik dari diskusi adalah ketika Francesca mengaitkan body emotion dengan kondisi psikologis seseorang. Misalnya:
Nyeri di pundak sering kali menandakan tekanan tanggung jawab pekerjaan.
Sakit punggung bawah bisa jadi sinyal kurangnya dukungan emosional dari orang terdekat.
Nyeri di telapak kaki menunjukkan adanya ketakutan untuk melangkah ke sesuatu yang baru.
Francesca juga menegaskan bahwa semakin besar dampak positif seseorang terhadap orang lain, semakin besar kebahagiaan yang dirasakan.
Menyentuh Kehidupan Sehari-hari
Bincang sehat ini tidak hanya memaparkan teori, tetapi juga memberikan panduan praktis. Peserta diajak untuk mengenali tanda-tanda stres, kecemasan, hingga depresi. Francesca menjelaskan bagaimana kondisi mental yang buruk dapat memengaruhi fisik melalui peningkatan hormon stres, kortisol, yang pada akhirnya menyerang kesehatan tubuh.
“Ketika kita tidak peduli dengan kesehatan mental, tubuh kita akan memprotes,” ungkap Francesca dengan lugas.
Sinergi Positif untuk Masa Depan
Acara ini menjadi lebih dari sekadar diskusi—ini adalah langkah nyata untuk menciptakan sinergi positif dalam diri setiap karyawan. PT Human Capital Global percaya bahwa karyawan yang sehat secara mental akan mampu memberikan yang terbaik, baik untuk dirinya sendiri maupun perusahaan. Ini adalah investasi jangka panjang yang berfokus pada manusia sebagai pusat keberlanjutan perusahaan.
Harapan ke Depan
Melalui acara ini, PT Human Capital Global, bersama dengan mitra-mitranya, telah menunjukkan komitmen nyata untuk mendukung karyawannya secara holistik. Tidak hanya dari sisi produktivitas, tetapi juga dari sisi kesejahteraan mental.
Bincang sehat ini bukanlah akhir, melainkan awal dari upaya bersama untuk menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas. Karena seperti yang dikatakan Francesca, “Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental.”
Dengan semangat itu, perjalanan menuju keseimbangan hidup yang lebih baik dimulai, satu langkah, satu diskusi, dan satu kesadaran dalam setiap jiwa yang hadir di pagi itu.
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah mencapai tahap di mana teknologi ini mampu menghasilkan konten secara otomatis, termasuk podcast yang dihasilkan berdasarkan informasi dari situs web. Salah satu platform yang memungkinkan hal ini adalah NotebookLM dari Google, yang dirancang untuk membantu pengguna memahami dan menjelajahi materi kompleks dengan lebih efisien.
Sebagai contoh, AI melalui NotebookLM dapat menganalisis konten dari situs web kami, hcg.co.id, dan mengubahnya menjadi podcast otomatis yang informatif dan menarik.
Bagaimana AI Membuat Podcast Kami?
Berdasarkan informasi dari sumber resmi Google, berikut adalah langkah-langkah utama bagaimana AI melalui NotebookLM menghasilkan podcast otomatis:
Menganalisis Informasi NotebookLM membaca dan memahami konten dari situs web yang diberikan, termasuk teks, gambar, dan elemen lain yang relevan. Dengan menggunakan model bahasa besar (Large Language Model), AI dapat mengidentifikasi topik utama dan informasi penting dari sumber tersebut.
Menyusun Narasi yang Terstruktur Setelah menganalisis konten, AI menyusun narasi yang logis dan kohesif. NotebookLM dapat menghasilkan ringkasan, menjelaskan ide kompleks, dan bahkan menghubungkan informasi dari berbagai sumber untuk menciptakan narasi yang menarik.
Mengolah Suara Otomatis Dengan integrasi teknologi text-to-speech (TTS), AI mengubah teks yang telah disusun menjadi audio dengan intonasi dan ritme yang alami. Hal ini memungkinkan pembuatan podcast yang terdengar profesional tanpa memerlukan rekaman suara manusia.
Dengan memanfaatkan teknologi ini, kami dapat menyajikan informasi dari situs web kami dalam format podcast yang mudah diakses oleh audiens yang lebih luas.
Dengarkan Podcast Kami!
Sebagai bukti nyata kehebatan teknologi ini, kami sertakan file MP3 dari podcast yang dibuat AI berdasarkan informasi di situs web kami. Anda dapat mendengarkannya untuk memahami lebih jauh bagaimana teknologi ini bekerja. Berikut adalah transkrip lengkap dari podcast tersebut:
All right, welcome to another deep dive. This time, we’re going international and diving into the world of PT Human Capital Global, HCG for short. They’re an Indonesian outsourcing company, and we’ve got their website, blog posts, even some industry reports ready to be explored. You know, it’s everywhere these days. It’s like imagine you’re amazing at baking cakes, but you can’t handle the business side of things, all those invoices and receipts. So you hire an accountant to take care of that. My friend, is outsourcing in a nutshell. You’re getting an expert on board for a specific task. And HCG, they’re doing that, but on a much bigger scale. They’re connecting Indonesian businesses with the talent they need to thrive. And speaking of talent, ever heard of job supply and labor supply? It’s a bit of industry jargon, but we’ll get to that. For now, let’s get to know HCG a little better.
Keuntungan Menggunakan Teknologi AI
Sebagai perusahaan yang terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi, kami melihat berbagai manfaat dari penggunaan AI dalam pembuatan konten:
Efisiensi Waktu dan Biaya Pembuatan podcast oleh AI dapat dilakukan dengan cepat tanpa mengorbankan kualitas, sehingga menghemat waktu dan biaya produksi.
Konsistensi Informasi Karena didasarkan pada konten yang ada di situs web kami, informasi yang disampaikan selalu akurat dan konsisten.
Aksesibilitas yang Lebih Baik Dengan format podcast, informasi kami dapat diakses oleh audiens yang lebih luas, termasuk mereka yang lebih memilih format audio.
Penutup
Kami senang dapat memanfaatkan teknologi canggih seperti NotebookLM untuk menyajikan layanan kami dengan cara yang inovatif. Teknologi ini membuka peluang baru dalam menyampaikan informasi secara efektif dan menarik. Kami berharap, dengan adanya podcast ini, Anda dapat lebih memahami nilai-nilai dan layanan yang kami tawarkan.
Kami mengajak Anda untuk mendengarkan file MP3 podcast yang kami sertakan di bawah ini. Semoga Anda menikmati dan mendapatkan wawasan baru dari konten yang disajikan.
Dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif, pengukuran kinerja vendor outsourcing menjadi aspek penting bagi pengambil keputusan. Namun, seringkali penilaian ini terjebak pada kesan semu atau gimmick yang tidak mencerminkan kinerja sebenarnya.
Saya teringat diskusi dengan seorang rekan yang menggunakan jasa outsourcing. Ia mengeluhkan vendor yang selalu tampil memukau saat presentasi, penuh janji dan klaim sukses, namun kenyataannya performa mereka jauh dari harapan. Dia merasa bahwa keputusan berdasarkan kesan awal sering kali berujung pada kekecewaan karena hasilnya tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa penting untuk memiliki pendekatan yang lebih sistematis dan berbasis data dalam menilai kinerja vendor outsourcing. Jadi, bagaimana kita bisa melakukannya dengan lebih objektif?
Berikut adalah beberapa strategi yang bisa membantu:
1. Fokus pada Data Kinerja Nyata
Langkah pertama adalah memastikan penilaian vendor didasarkan pada data yang konkret. Indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicators atau KPI) harus jelas sejak awal kerjasama. Misalnya, jika bekerja sama dengan vendor outsourcing di bidang tenaga kerja, KPI seperti kepuasan pelanggan, ketepatan pembayaran gaji, dan penyelesaian masalah di lapangan adalah contoh metrik yang dapat diukur secara objektif.
2. Hindari Kesimpulan Cepat Berdasarkan Kesan Awal
Vendor yang tampak meyakinkan di awal mungkin tidak selalu dapat mempertahankan konsistensi performa. Penilaian yang hanya didasarkan pada presentasi atau kesan awal sering kali bias. Laporan rutin berbasis data yang terukur lebih dapat diandalkan untuk mengevaluasi hasil sebenarnya, daripada hanya terpengaruh oleh pencapaian sesaat yang menarik perhatian.
3. Manfaatkan Pengalaman Pribadi Sebagai Pertimbangan
Pengalaman pribadi dalam bekerja dengan vendor outsourcing dapat menjadi bahan evaluasi yang tak ternilai. Dalam pengalaman saya mengelola PT HCG, saya belajar bahwa pendekatan berbasis hubungan jangka panjang dan transparansi dalam pelaporan kinerja sangat membantu. Dengan cara ini, klien kami bisa memahami nilai sebenarnya dari layanan yang kami tawarkan. Pengukuran yang konsisten dan komunikasi yang terbuka menjadi landasan keberhasilan.
4. Bandingkan Kinerja Vendor dengan Standar Pasar
Penilaian vendor outsourcing tidak bisa dilakukan dalam ruang hampa. Bandingkan kinerja vendor dengan standar pasar atau vendor sejenis dalam industri yang sama. Perbandingan ini akan memberikan perspektif yang lebih jelas tentang seberapa kompetitif dan profesional vendor tersebut dalam memenuhi harapan klien.
5. Prioritaskan Hasil Nyata di Lapangan
Janji tanpa bukti bukanlah ukuran kinerja yang baik. Vendor yang handal harus mampu memenuhi kontrak dan memberikan hasil nyata yang dapat dirasakan langsung di lapangan. Efisiensi operasional dan pertumbuhan bisnis klien yang didukung oleh layanan vendor harus menjadi ukuran utama keberhasilan.
Dengan pendekatan ini, pengambil keputusan di berbagai level dapat menilai kinerja vendor outsourcing secara lebih objektif, menghindari jebakan gimmick atau kesan awal yang menyesatkan, dan fokus pada data serta hasil nyata yang mendukung pertumbuhan bisnis.